JAKARTA, iNews - Permohonan praperadilan yang diajukan oleh Ketua KPK non aktif Firli Baruli di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, memasuki agenda pemeriksaan saksi dan keterangan Ahli, yakni Prof. Romli Atmasasmita.
Dalam persidangan terungkap bahwa suatu perkara pidana setelah dibuat laporan polisi tidak bisa langsung dilakukan penyidikan, tetapi harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu oleh penyidik, dengan tujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Dalam hal ini, tidak dilakukan penyelidikan dan langsung dilakukan penyidikan dalam suatu perkara. Menurut kuasa hukum Firli, Ian Iskandar tidak dapat dinyatakan sah penyidikan dan penetapan tersangka yang dilakukan terhadap perkara tersebut, karena tidak adanya penyelidikan terlebih dahulu oleh penyelidik, yang berarti belum ditemukan adanya suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
"Apabila dalam proses penyelidikan tidak dilakukan pemeriksaan klarifikasi/interview terhadap terlapor, maka penyidikan dan penetapan tersangka yang dilakukan terhadap perkara tersebut, tidak sesuai prosedur yang berlaku, karena tidak ada klarifikasi terkait dengan apa yang dituduhkan pelapor terhadap terlapor, serta tidak ada ruang dan waktu bagi terlapor maupun saksi, untuk menyangkal tuduhan pelapor atau mengakuinya," kata Ian, di Jakarta, Kamis (14/12/2023).
Ian menambahkan, suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element), katanya.
"Unsur mens rea atau unsur actus reus harus dapat dibuktikan berdasarkan bukti-bukti dan saksi dalam proses penyelidikan/penyidikan," ujar Ian.
Berkaitan dengan kasus kliennya, kata Ian, jika salah satu unsur mens rea atau unsur actus reus tidak dapat dibuktikan berdasarkan bukti-bukti dan saksi dalam proses penyelidikan/penyidikan, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
Menurut Ian, bukti permulaan yang cukup dalam tahapan penetapan tersangka sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah.
Sementara itu dalam hal ini, di dalam tahapan penetapan tersangka, bukti permulaan yang cukup tersebut benar-benar menunjukkan bahwa tersangka diduga keras melakukan tindak pidana.
"Apabila dalam suatu tindak pidana terbukti hanya ada 1 (satu) alat bukti yang sah dikaitkan dengan Pasal 183 KUHAP, maka tidak dapat dijadikan dasar sebagai penetapan tersangka," urainya.
Adapun prosedur penyelesaian perkara termasuk penyidikan dan penetapan tersangka, menurut dia harus dilakukan secara profesional, proporsional dan transparan. Hal ini dilakukan agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan lebih jauh tidak semata-mata bertendensi menjadikan seseorang menjadi tersangka.
"Alat bukti dalam menetapkan Tersangka tidak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor: 21/PUU-XII/2014, yang pada pokoknya menyatakan alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif," bebernya.
"Sedangkan dalam penetapan tersangka terhadap FB hanya berdasarkan alat bukti yang memenuhi unsur kuantitatif, tetapi tidak memenuhi unsur kualitatif. Tidak ada satu pun alat bukti yang menunjukkan adanya actus rea maupun mens rea sebagaimana dimaksud Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Tipikor," imbuhnya.
Lebih lanjut Ian Iskandar menegaskan bahwa keterangan ahli yang menegaskan bahwa tidak adanya penyelidikan, tidak adanya mens rea, tidak adnya actus rea, alat bukti yang tidak memenuhi unsur kualitas menurut Ian merupakan kesalahan prosedur dalam menetapkan tersangka. Hal ini memperkuat dalil pembatalan penetapan tersangka Firli Bahuri.
Editor : Hasiholan Siahaan