TANGERANG, iNewsTangsel.id -Pengembang harus berperan aktif dalam menjaga lingkungan saat mengembangkan proyek properti melalui penerapan konsep properti hijau. Penerapan konsep ini merupakan kontribusi sektor swasta untuk mengantisipasi perubahan iklim global.
Sektor swasta berperan sebagai penggerak utama dalam keberlanjutan pembangunan di Indonesia. Pemerintah sering kali kurang memiliki visi dalam pembangunan suatu kawasan. Di negara-negara maju seperti Jepang, Singapura, dan Hong Kong, tidak ada ruang untuk perencanaan berdasarkan permintaan.
"Di negara maju, pemerintah bertanggung jawab menciptakan perencanaan jangka panjang yang kemudian diikuti oleh pelaku usaha swasta. Sementara di Indonesia, situasinya justru terbalik," kata Ketua Green Building Council Indonesia (GBCI) Iwan Prijanto dalam acara Elevee Media Talk di Alam Sutera, Tangerang, Selasa (28/5/2024).
GBCI mencatat bahwa proses konstruksi sebuah bangunan mengkonsumsi 35% energi dan 12% air, menghasilkan 25% sampah, serta mengeluarkan 39% emisi gas rumah kaca. Setelah pembangunan selesai, operasional bangunan bertingkat tersebut menjadi salah satu dari tiga penyumbang terbesar emisi karbon dioksida (CO2).
"Suka atau tidak, pengembang harus berperan aktif dalam memerangi perubahan iklim global. Bagi pengembang yang tidak bisa mengikuti ketentuan net zero carbon dalam kegiatan usahanya, dalam 10 tahun ke depan mereka pasti akan tertinggal. Risiko yang dihadapi adalah kesulitan menjual unit properti mereka," kata Iwan.
Sejak didirikan pada tahun 2009, GBCI telah menerbitkan sertifikasi bangunan hijau atau Greenship untuk sejumlah proyek properti. Bahkan, sertifikasi hijau dari GBCI sudah diakui oleh World Green Building Council, seiring dengan keanggotaan resmi GBCI di World Green Building Council sejak tahun 2017.
"Konsep bangunan hijau bertujuan untuk melakukan konservasi, efisiensi, dan berbagi dalam pemanfaatan sumber daya energi, air, lahan, udara, dan lingkungan," ujar Iwan.
Chief Marketing Officer Elevee Condominium, Alvin Andronicus, mengakui bahwa penerapan konsep properti hijau sangat penting dalam pengembangan kawasan properti. Elevee Condominium, yang merupakan bagian dari properti milik PT Alam Sutera Realty Tbk, juga telah mengadopsi konsep properti hijau.
"Secara kasat mata, properti di Alam Sutera sudah menerapkan konsep properti hijau. Misalnya, penanaman pohon sebagai kanopi yang menaungi pedestrian, penggunaan transportasi publik terpadu, pengolahan sampah terpadu, serta water treatment plan (WTP) yang memproduksi air bersih untuk dialirkan ke rumah-rumah warga di Alam Sutera," jelas Alvin.
Menurut Alvin, pengembang Alam Sutera yang berpengalaman selama 30 tahun juga telah memasang 500 closed circuit TV (CCTV) di sejumlah titik sebagai alat pemantau arus lalu lintas. "CCTV tersebut merupakan bagian dari Traffic Management System yang dijalankan oleh pengelola Alam Sutera untuk mengantisipasi tumpukan kendaraan agar tidak menimbulkan polusi udara. Kami juga sedang mengembangkan pengelolaan sampah terpadu untuk mewujudkan zero waste," ujarnya.
Bangun Kesadaran Bersama
Alvin menjelaskan bahwa konsep properti hijau harus melibatkan seluruh kalangan terkait, termasuk masyarakat yang tinggal di proyek properti yang dikembangkan oleh developer maupun masyarakat di sekitarnya. "Alam Sutera selalu mengajak warga untuk ikut berpartisipasi dalam menjaga keasrian lingkungan. Contoh sederhananya, kami mengajak warga dan masyarakat sekitar untuk tidak membuang sampah sembarangan di kawasan Alam Sutera," tegasnya.
Lebih lanjut, Iwan menjelaskan bahwa saat ini ada tiga model pengembang terkait penerapan konsep properti hijau di Indonesia. Pertama, konsep properti hijau masih sebatas gimmick marketing untuk menarik calon konsumen. Kedua, properti hijau sudah menjadi acuan bagi perusahaan pengembang, di mana tenaga marketing berperan aktif dalam mengamplifikasi kebijakan perusahaan terkait properti hijau. Ketiga, pengembang dalam kategori kedua yang sudah mengantongi sertifikasi properti hijau dari lembaga resmi.
"Saat ini, proyek properti dari Alam Sutera masih dalam kategori kedua. Kami tentunya berharap pengembang nasional seperti Alam Sutera bisa menaikkan levelnya hingga ke kategori ketiga," tegas Iwan.
Menanggapi tuntutan greenship tersebut, Alvin menegaskan bahwa pihaknya sedang menuju proses sertifikasi properti hijau. Dia mengakui bahwa memperoleh sertifikasi properti hijau tidak semudah membalik telapak tangan. “Ada berbagai ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengembang. Salah satu yang masih sulit dipenuhi adalah penggunaan material bangunan yang sepenuhnya harus bersertifikasi hijau. Padahal, belum ada produsen bahan bangunan lokal yang bisa memenuhi ketentuan itu,” jelasnya.
"Orientasi pada konsep hijau sangat kami apresiasi. Sebelum membuat sistem pendingin bangunan, kita harus memiliki strategi pendinginan urban. Jika tidak ada pohon di lingkungan, maka suhu luar akan 2-3 derajat lebih panas. Jika ada pohon, suhu luar ruang akan lebih sejuk 2-3 derajat, sehingga energi yang dibutuhkan untuk pendinginan bangunan akan lebih rendah," ungkap Iwan.
Hal yang paling penting dalam hal ini adalah pemilik pengembang. Pebisnis harus berpikir bahwa bisnis properti yang mereka kelola harus bisa berlanjut untuk anak cucu mereka.
GBCI siap menjadi mitra bagi pengembang. Suka atau tidak suka, saya harus mengatakan bahwa panglima pembangunan di Indonesia adalah institusi swasta. Pemerintah Indonesia jarang memiliki visi dalam pembangunan suatu kawasan, yang sangat memprihatinkan. Di negara-negara maju seperti Jepang, Singapura, dan lainnya, pemerintah yang memiliki perencanaan, sementara swasta tinggal menyesuaikan.
Kondisi di Indonesia berbeda, di mana semua pembangunan terbaik ditangani oleh swasta. Mereka sadar bahwa risikonya sangat besar. Peraturan pemerintah baru menyesuaikan kemudian. Artinya, pengembang swasta adalah penggerak utama yang menyebabkan pembangunan di Indonesia.
Editor : Hasiholan Siahaan