“Kolaborasi link and match dengan dunia usaha, dunia industri juga jangan hanya agenda seremonial seperti perjanjian kerja sama tanpa eksekusi yang cermat, hal tersebut penting ditekankan mengingat fenomena ketenagakerjaan yang begitu dinamis,” ucap Dede.
Lebih lanjut, Dede mengatakan, penguatan SDM pengajar juga tak kalah penting. Dirjen vokasi harus mampu meng-upgrade para pengajar dengan sering melakukan sertifikasi dan uji kompetensi.
“Masalah kurikulum memang masih menjadi catatan, terlebih harus adaptif dengan perkembangan zaman, tak terkecuali fenomena transisi pandemi ke endemi dimana sistem kerja hibrida seperti luring-daring menjadi hal yang wajar,” katanya.
Terakhir, Dede mengharapkan Dirjen terpilih adalah sosok yang benar-benar paham dan unggul dalam kompetensi manajemen per-vokasi-an. Bebas dari intervensi dan intrik politik, dan berkomitmen dengan kerja teknis lapangan sesuai dengan nafas vokasi sebagai ilmu terapan, bukan hanya retorika saja.
"Jika sudah terpilih, Kemendikbud bisa langsung berlari kencang menerapkan program-programnya. Dirjen Vokasi merupakan direktorat yang sangat strategis dalam mengeksekusi program-program prioritas pembangunan SDM unggul," ujarnya.
Terkait pernyataan Dede Yusuf, tentang kebutuhan kurikulum adaptif dan permasalahan mismatch di dunia pendidikan vokasi pernah disinggung oleh pengamat pendidikan vokasi, Farkhan. Dalam makalahnya berjudul “Technology Disruption: Tantangan Perubahan Pendidikan Vokasi di Indonesia”, Farkhan mengungkapkan adanya mismatch di dunia pendidikan vokasi dan perkembangan kurikulum yang harus mengikuti perkembangan zaman.
Di makalah yang dipublikasikan pada prosiding seminar nasional 2018 tersebut disebutkan, “tuntutan perubahan akibat perkembangan teknologi khususnya di industri manufaktur yang memasuki era Industry 4.0 diprediksi memberikan dampak yang sangat besar dan luas, terutama pada sektor lapangan kerja.”
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta