JAKARTA, iNewsTangsel.id - Seminar Forum Bumi edisi pertama yang diselenggarakan oleh National Geographic Indonesia dan Yayasan Kehati, membunyikan alarm bagi kita semua. Mengusung tema "Apa yang Terjadi Jika Keanekaragaman Hayati Kita Punah?", acara ini mengajak generasi muda, masyarakat adat, dan seluruh lapisan masyarakat untuk segera bertindak demi menyelamatkan masa depan bumi.
Samedi, Direktur Program KEHATI, dalam paparannya mengungkap fakta mengejutkan tentang kurangnya perlindungan dalam revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. "Saat ini, undang-undang tersebut hanya memperkuat sanksi untuk spesies yang dilindungi, sementara spesies lain yang rentan diabaikan," kata Samedi dengan penuh keprihatinan, Kamis (15/8/2024). Menurutnya, jika masyarakat tidak segera bergerak, banyak spesies yang akan punah tanpa sempat terselamatkan.
Tidak hanya itu, Prof. Dr. Augy Syahailatua, Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Oseanografi, mengingatkan pentingnya pemahaman mendalam tentang laut Indonesia yang luas dan dalam. "Laut dalam kita adalah harta karun biodiversitas yang saat ini terancam oleh perubahan iklim. Jika kita tidak bertindak sekarang, pada tahun 2100, kita bisa kehilangan 22,15 persen terumbu karang kita," ungkap Augy, memberikan gambaran nyata tentang masa depan yang suram jika tindakan konkret tidak segera diambil.
Namun, harapan muncul dari masyarakat adat. Annas Radin Syarif, Deputi Sekjen AMAN, menekankan bahwa 36 persen tutupan hutan dunia berada di wilayah adat. "Masyarakat adat telah lama menjaga bumi dengan kearifan lokal mereka. Namun, peran mereka dalam konservasi belum diakui secara penuh. Padahal, mereka adalah garda terdepan dalam melindungi keanekaragaman hayati," ujar Annas, mendorong pengakuan lebih besar terhadap peran krusial mereka.
Mahandis Yoanata, Managing Editor National Geographic Indonesia, menutup seminar dengan seruan moral kepada semua peserta. "Generasi muda, masyarakat adat, semua dari kita memiliki tanggung jawab terhadap bumi ini. Jika kita tidak bergerak sekarang, kita akan kehilangan bukan hanya spesies, tapi juga warisan alam yang tak ternilai."
Editor : Hasiholan Siahaan