Kasus Dokter Rudapaksa Keluarga Pasien RSHS Bandung, Akademisi Minta Polisi Terapkan Pasal Pemberata

TANGSEL, iNewstangsel.id - Seorang dokter residen anestesi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Priguna Anugrah 31, ditahan oleh pihak kepolisian atas dugaan pemerkosaan terhadap FH 21, pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Sabtu 12 April 2025.
Peristiwa ini terjadi pada 18 Maret 2025 di Gedung MCHC RSHS Bandung. Menurut keterangan korban, pelaku meminta dirinya untuk menjalani transfusi darah tanpa didampingi keluarga di ruang nomor 711, sekitar pukul 01.00 WIB.
Korban diminta untuk berganti pakaian dengan baju operasi dan melepas seluruh pakaiannya.
Setelah itu, pelaku menyuntikkan cairan melalui infus, yang menyebabkan korban merasa pusing dan kehilangan kesadaran.
Korban baru sadar sekitar pukul 04.00 WIB. Setelah sadar, korban diminta untuk berganti pakaian dan diantar ke lantai bawah.
Saat buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tubuhnya. Korban kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Polda Jawa Barat.
Setelah melakukan pemeriksaan terhadap 11 orang saksi, termasuk korban, ibu dan adik korban, beberapa perawat, dokter, serta pegawai rumah sakit lainnya.
pihak kepolisian menetapkan Priguna Anugrah sebagai tersangka dan melakukan penahanan.
Polda Jawa Barat menjerat pelaku dengan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara, sebagaimana disampaikan Kabid Humas Polda Jabar, Komisaris Besar Polisi Hendra Rochmawan (Rabu, 9 April 2025).
Sementara itu, Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya, menilai bahwa polisi kurang tepat jika hanya menggunakan Pasal 6 huruf c UU TPKS untuk menjerat pelaku.
Halimah berpendapat, polisi seharusnya juga menerapkan Pasal 15 ayat 1 huruf b karena pelaku merupakan tenaga kesehatan, dan Pasal 15 ayat 1 huruf j karena korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
"Seharusnya polisi juga menerapkan Pasal 15 ayat 1 huruf b karena pelaku merupakan tenaga kesehatan, dan Pasal 15 ayat 1 huruf j karena korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya," ujar Halimah.
Jika Pasal 15 ayat 1 huruf b dan Pasal 15 ayat 1 huruf j diterapkan, maka pidana penjara bagi pelaku bisa lebih berat, Pasal 15 mengatur tentang pemberatan pidana.
Oleh karena itu, Halimah menyarankan agar penyidik tidak hanya menerapkan Pasal 6 huruf c, tetapi juga Pasal 15 ayat 1 huruf b dan Pasal 15 ayat 1 huruf j.
Dengan demikian, ancaman pidana penjara maksimal bagi pelaku dapat mencapai 12 tahun, ditambah pemberatan sepertiga, sehingga totalnya menjadi 16 tahun.
"Pasal 15 itu mengatur tentang pemberatan pidana. Oleh karena itu, penyidik sebaiknya tidak hanya menerapkan Pasal 6 huruf c, tetapi juga Pasal 15 ayat 1 huruf b dan Pasal 15 ayat 1 huruf j. Dengan demikian, ancaman pidana penjara maksimal bagi pelaku dapat mencapai 12 tahun, ditambah pemberatan sepertiga, sehingga totalnya menjadi 16 tahun," kata Halimah.
Halimah yang juga Pengurus Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah itu mengingatkan agar polisi memperhatikan hak-hak korban yang telah diatur dalam UU TPKS, jadi polisi harus memperhatikan betul hak-hak korban seperti hak penguatan psikologis, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas resitusi dari pelaku, dan hak-hak lainnya.
“Untuk pemenuhan hak-hak korban, polisi bisa berkordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Barat. Sedangkan untuk hak resitusi, polisi bisa berkordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,” demikian Halimah. (*)
Editor : Aris