Sertifikat Tanah 1961–1997 Wajib Diubah ke Elektronik, Komisi II DPR: Jangan Sulitkan Rakyat Kecil

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Anggota Komisi II DPR RI, Mohammad Toha, memberikan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah yang mewajibkan konversi sertifikat tanah fisik tahun terbit 1961 hingga 1997 menjadi sertifikat elektronik (Sertipikat-el).
Toha menilai, kebijakan tersebut harus dijalankan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kebingungan dan beban tambahan, terutama bagi masyarakat desa atau kalangan yang belum familiar dengan layanan digital.
“Pemerintah harus memastikan proses konversi sertifikat tanah ini tidak menyulitkan rakyat kecil. Sosialisasi dan pendampingan mutlak diperlukan,” tegas Toha, Jumat (23/5/2025).
Politikus asal Dapil Jawa Tengah V itu juga mempertanyakan bentuk fisik dari sertifikat elektronik yang akan diberikan masyarakat. Ia menyoroti kekhawatiran publik soal hilangnya bukti kepemilikan dalam bentuk fisik.
“Apakah masyarakat hanya akan menerima versi digital, atau tetap ada dokumen fisik dengan format baru? Ini perlu dijelaskan secara gamblang karena masih banyak warga yang menggantungkan rasa aman pada dokumen fisik,” ujarnya.
Toha juga menekankan pentingnya keamanan data digital dalam implementasi Sertipikat-el. Menurutnya, risiko peretasan dan penyalahgunaan data harus menjadi perhatian utama.
“Digitalisasi sertifikat tanah tidak boleh dilakukan sebelum sistem keamanan data benar-benar siap. Jangan sampai niat baik ini justru membuka celah bagi kejahatan siber yang mengancam hak kepemilikan rakyat,” kata legislator empat periode itu.
Ia menambahkan, proses alih bentuk sertifikat ini memerlukan biaya yang bisa memberatkan masyarakat. Selain biaya resmi sebesar Rp 50.000, ada juga biaya tambahan seperti fotokopi dokumen, pembelian materai, transportasi, hingga waktu tunggu yang lama.
“Biaya totalnya jelas lebih dari Rp 50 ribu. Apalagi kalau masyarakat tinggal jauh dari kantor BPN, mereka harus keluar ongkos dan waktu yang tidak sedikit,” ujarnya.
Toha pun mengingatkan bahwa transformasi digital dalam layanan pertanahan harus tetap menjunjung keadilan dan aksesibilitas.
“Modernisasi itu penting, tapi hak-hak dasar rakyat harus dijaga. Jangan sampai digitalisasi sertifikat tanah justru meminggirkan mereka yang belum akrab dengan teknologi,” tutupnya.
Sebelumnya, Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid mengimbau pemilik sertifikat tanah terbitan 1961–1997 segera melakukan konversi ke sertifikat elektronik. Menurutnya, sertifikat dari periode tersebut tidak memiliki peta kadastral sehingga perlu diperbarui.
Editor : Hasiholan Siahaan