Afrizal SH, MH: Saya Berharap Keadilan Masih ada di Republik Indonesia ini

Hasiholan
Afrizal, meminta kepada majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari semua tuntutan jaksa

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Suasana jalannya persidangan ke-14 dengan terdakwa AM yang mengalami sakit leher dan jatuh pingsan saat agenda pledoi di PN Jakarta Selatan, Rabu (23/5/2024) membuat iba hati masyarakat luas 

Melihat kondisi AM yang sakit, Hakim anggota Abu Hanifah segera menghentikan sidang. "Sidang tidak dapat dilanjutkan," kata Abu Hanifah.

Atas kejadian tersebut, penasihat hukum terdakwa dari kantor hukum MA Braja Judicatum, Afrizal SH, MH, berterima kasih kepada Majelis Hakim yang telah menghentikan sidang.

Atas peristiwa tersebut, kuasa hukum  kemudian mengajukan permohonan kepada Hakim Ketua agar terdakwa diijinkan menjalani proses pemeriksaan kesehatan, peralihan tahanan dan penundaan sidang.

Dari ketiga permohonan tersebut, hanya pemeriksaan kesehatan yang dikabulkan dan akan dilakukan kepada terdakwa setelah pledoi pada hari Senin depan (27/5/2024), ujar Afrizal.

'Pendekar hukum', kelahiran 7 April 1970 di Bangkinang, Kampar Riau ini berharap agar kliennya dibebaskan dari semua tuntutan jaksa."Iya saya berharap terdakwa dibebaskan dari semua tuntutan ", katanya kepada iNewsTangsel.

Pada Senin (20/05/2024) Jaksa Penuntut Umum telah membacakan surat tuntutan terhadap terdakwa dengan nomor perkara 178/Pid.B/2024/PN.Jkt.Sel.

Adapun tuntutan yang dikenakan oleh JPU adalah pasal 378 Jo 55 KUHP dengan tuntutan maksimal 3 tahun 6 bulan dan dikenakan biaya perkara sebesar Rp2.000.

Sebagai informasi, Afrizal SH., MH, sebagai kuasa hukum tergugat menyatakan bahwa kliennya memulai kerjasama dengan PT. (KID) atas dasar niat dan itikad baik dalam bisnis investasi batubara.

"Hubungan keperdataan antara kedua belah pihak dimulai dengan menandatangani Perjanjian Kerjasama Investasi No.001/RPS-BB/X/2022 pada 19 Oktober 2022," jelas Afrizal kepada wartawan.

Afrizal juga menambahkan bahwa dalam surat perjanjian tersebut disebutkan bahwa kedua pihak telah sepakat untuk mengelola risiko dalam usaha investasi ini, yang secara ekonomi disebut sebagai (risk seeker), dengan hasil akhir berupa laba atau rugi.

Pasal 4 ayat (2) dalam perjanjian tersebut menyebutkan bahwa apabila terjadi kesalahpahaman, para pihak akan menyelesaikannya secara musyawarah dan mufakat. Jika tidak tercapai mufakat, masalah akan diselesaikan di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kaltim.

Artinya, dalam usaha kerjasama investasi produksi batubara ini, apabila terjadi kesalahpahaman, akan diupayakan musyawarah untuk mufakat terlebih dahulu. Jika tidak terselesaikan dan ada dugaan kerugian, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kaltim, sebagaimana dijamin oleh undang-undang dalam perjanjian tersebut.

Karena ini merupakan kewajiban hukum para pihak, jika terjadi perselisihan dan ada dugaan kerugian, penyelesaiannya adalah melalui Pengadilan Negeri Balikpapan. Dengan demikian, hubungan hukum keperdataan antara kedua belah pihak telah ditetapkan," jelas Afrizal.

Afrizal, yang tergabung dalam Ma Braja Judicatum & Associate Law Office, mempertanyakan kepada majelis hakim mengenai kasus kliennya yang masuk ranah pidana dan lamanya persidangan ini berjalan.

"Padahal sudah jelas dari surat perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak bahwa kasus ini mengacu ke KUH Perdata Pasal 1338, di mana setiap perjanjian orang per orang dalam konsep beritikad baik adalah murni perikatan dan tidak bisa masuk ke ranah pidana.

Persidangan ini sudah berjalan lama, sudah 14 kali sidang, dan penggugat yang merupakan WNA tidak pernah hadir dalam persidangan. Apalagi, salah satu terdakwa juga dalam kondisi sakit," sambung Afrizal.

Sementara itu, ahli Dr. Alfitra, S.H., M.Hum menyatakan bahwa unsur-unsur dalam Pasal 372 dan 378 tidak terpenuhi dalam kasus ini. 

"Dalam Pasal 191 ayat 1 adalah _vrijspraak_ atau bebas, di mana dakwaan dari JPU unsurnya tidak terpenuhi dan minim alat bukti," ujar Alfitra.

Selanjutnya, dalam Pasal 191 ayat 2, Alfitra menjelaskan bahwa jika terbukti melakukan perbuatan tetapi bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

"Dalam ayat selanjutnya, masih di pasal yang sama, dikatakan _ontslag_ atau dilepaskan karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana," tambahnya.

Alfitra juga menyebutkan bahwa dalam Hukum Acara Pidana Pasal 50 sampai 67, seorang terdakwa atau tersangka memiliki hak untuk berobat, dikunjungi, maupun mengunjungi.

"Berkaitan dengan hak asasi manusia, setiap institusi penyidikan, kejaksaan, maupun hakim pengadilan harus mengizinkan terdakwa atau tersangka yang sedang sakit, ingin menikah, atau menjenguk orang tuanya, dengan pengawalan yang sesuai dan tanpa biaya tambahan," jelas Alfitra, yang juga seorang pendidik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

Editor : Hasiholan Siahaan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network