RAUT wajah Ketua Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango terlihat serius. Netranya menatap tajam ke ratusan hadirin yang memenuhi Auditorium Utama Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Permintaan maaf lantas meluncur deras dari lisannya dengan tulus. Berbagai prahara yang terjadi di KPK dan diduga melibatkan sejumlah insan KPK menjadi pijakan kata.
Di antara yang teranyar adalah kasus dugaan pemerasan yang diduga dilakukan oleh tersangka Komisaris Jenderal Polisi (Purnawirawan) Firli Bahuri selaku Ketua KPK 2019–2023 yang ditangani Polda Metro Jaya, kasus dugaan pungutan liar (pungli) di Rutan Cabang KPK yang diduga dilakukan oleh 15 tersangka petugas Rutan Cabang KPK dan menyeret puluhan petugas Rutan Cabang KPK yang diusut KPK, hingga kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh puluhan petugas Rutan Cabang KPK maupun yang diduga dilakukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang ditangani Dewan Pengawas KPK.
“Jika ada kegaduhan segala hal yang barangkali muncul dari aspek internal, kami mohon maaf untuk itu. Mohon maaf apabila berita-berita mengenai pelanggaran kode etik pimpinan KPK atau seluruh insan KPK melahirkan kegaduhan di tengah masyarakat,” tegas Nawawi Pomolango saat menyampaikan kuliah umum bertajuk “Sinergi KPK RI dan Peran Lembaga Pendidikan dalam Pemberantasan Korupsi”, di hadapan sivitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (14/05/2024), yang juga dihadiri langsung oleh iNewsTangsel.id.
Kuliah umum ini dirangkaikan dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepakatan antara KPK dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang Kerja Sama dalam Upaya Pencegahan Korupsi, yang salah satu ruang lingkupnya adalah pendidikan antikorupsi. MoU diteken langsung oleh Ketua Sementara KPK Nawawi Pomolango dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Asep Saepudin Jahar.
Nawawi membeberkan, selama beberapa waktu terakhir sorotan masyarakat terhadap KPK dan para insan KPK pun bisa dilihat dalam berbagai unggahan warganet di berbagai platform media sosial, yang berisi cibiran-cibiran dan kritik-kritik yang luar biasa terhadap kerja-kerja KPK dan peristiwa-peristiwa negatif yang bersumber dari internal KPK. Meski demikian, Nawawi tak meradang dengan hal tersebut. Justru dia setuju. Sebab, kata Nawawi, KPK dilahirkan dari tuntutan Reformasi 1998 sehingga KPK menjadi anak kandung Reformasi 1998 yang membutuhkan dukungan dan partisipasi masyarakat.
“Itu memang pantas dilakukan masyarakat terhadap lembaga ini. Lembaga ini adalah lembaga yang dilahirkan daripada tuntutan reformasi (tahun 1998), meskipun kemudian dianggap sebagai anak yang tidak diharapkan. Jadi, perlu dukungan publik. Jadi, teruslah melihat KPK ini sebagai anak kandung reformasi. Menjadi tanggung jawab publik juga untuk menjaga lembaga ini. Tanggung jawab itu juga harus diimplementasikan dalam bentuk kritik dan lain sebagainya untuk membangun lembaga ini,” ujarnya.
Mantan hakim tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali itu menarik napas sejemang. Dia memperbaiki posisinya berdiri di depan podium. Nawawi lantas kembali mengedarkan pandangan ke arah para partisipan yang memenuhi ruangan.
Nawawi melanjutkan omongan. Bagaimanapun jua KPK dan masyarakat ibarat dua sisi mata uang. Tak bisa dipisahkan. Dukungan, partisipasi, dan kepercayaan publik terhadap KPK sangatlah dibutuhkan oleh KPK dan para insan KPK untuk melaksanakan kerja-kerja pemberantasan korupsi sesuai dengan enam tugas KPK yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Dia menggaransi, KPK secara kelembagaan, para insan KPK, dan para pimpinan KPK akan terus bekerja secara maksimal dan berkelanjutan untuk pemberantasan korupsi di Tanah Air. Nawawi berujar, kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilaksanakan KPK secara konsisten dan berintegritas tentu akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap KPK.
“Harus ada di benak dari lembaga ini untuk penguatannya. Menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap lembaga ini merupakan satu keniscayaan, yang kita harap masih terus dilakukan. Tanpa bermaksud mencari alasan daripada terpuruknya kepercayaan publik terhadap lembaga ini,” ungkapnya.
Nawawi melanjutkan, ada sejumlah bentuk dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi termasuk tentu saja dari kalangan perguruan tinggi. Di antaranya adalah menerapkan tata kelola perguruan tinggi berintegritas, transparan, dan akuntabel serta menerapkan kurikulum atau mata kuliah pendidikan antikorupsi bagi mahasiswa. Salah satu contoh adalah MoU antara KPK dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ketua Sementara KPK Nawawi Pamolango saat menyampaikan kuliah umum di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dia menambahkan, dalam beberapa kasus atau perkara yang ditangani KPK terdapat fakta bahwa objek dan subjek korupsi terjadi dan berasal dari lingkungan perguruan tinggi. Selain itu, sebagian besar dari pelaku korupsi yang ditersangkakan dan dibawa ke pengadilan adalah orang-orang yang memiliki gelar akademik mentereng hingga ada yang bergelar profesor. Data KPK menunjukkan, per 2021 saja terdapat 86 persen pelaku korupsi bergelar sarjana yang ditangani KPK.
“Beberapa kasus yang telah berhasil diungkap oleh KPK di lingkungan perguruan tinggi membuktikan bahwa dunia pendidikan masih sangat rentan terhadap tindak pidana korupsi,” ucap Nawawi.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP yang juga mantan Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi Sapto Pribowo menilai, publik mempunyai peran sentral termasuk juga media mainstream maupun kanal media sosial untuk senantiasa mengawal sekaligus mengawasi penegakan hukum yang transparan dan adil, termasuk mengawal dan mengawasi KPK dalam menjalankan tugasnya. Dia memaparkan, jika dilihat dari hasil survei terbaru yang dilakukan oleh sebuah media massa, maka jelas KPK secara lembaga mengalami penurunan kepercayaan publik.
“Selain itu, beberapa peristiwa terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa insan KPK semakin membuat publik kurang percaya kepada lembaga KPK. Menurut saya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pembenahan mengenai standar operasional prosedur (SOP) terkait di internal lembaga KPK dan juga perlu dilakukan revisi UU KPK,” tegas Johan saat dihubungi iNewsTangsel.id, di Jakarta, Rabu siang (26/6/2024).
Hasil Survei dan Pengaduan Masyarakat
Berbagai hasil survei sejumlah lembaga survei menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap KPK masih negatif. Kiwari, hasil jajak pendapat Litbang Kompas kurun 27 Mei-2 Juni 2024 menunjukkan, KPK menjadi lembaga dengan citra positif paling rendah dengan angka 56,1 persen, kemudian 33,4 persen menyatakan buruk dan 10,5 persen mengaku tidak tahu. Survei dilakukan Litbang Kompas secara wawancara tatap muka kepada 1.200 responden yang dipilih secara acak melalui metode pencuplikan sistematis bertingkat di 38 provinsi. Hasil survei ini dirilis pada Jumat (21/6/2024).
Persentase 56,1 persen citra positif KPK berada di urutan paling buncit dari delapan lembaga negara. Tujuh lembaga negara lainnya adalah TNI citra baik 89,4 persen, tidak tahu 7,3 persen, dan buruk 2,9 persen; Polri baik 73,1 persen, tidak tahu 4,4 persen, dan buruk 22,5 persen, DPD baik 68,6 persen, tidak tahu 15,7 persen, dan buruk 15,7 persen; Kejaksaan baik 68,1 persen, tidak tahu 20 persen, dan buruk 11,9 persen; Mahkamah Agung baik 64,8 persen, tidak tahu 18,7 persen, dan buruk 16,5 persen; DPR baik 62,6 persen, tidak tahu 8,9 persen, dan buruk 28,5 persen; dan Mahkamah Konstitusi baik 61,4 persen, tidak tahu 19,3 persen, dan buruk 19,3 persen.
Sebelumnya, hasil survei tatap muka Litbang Kompas periode Desember 2023 menunjukkan citra KPK berada di angka 47,5 persen. Angka ini yang terendah, setidaknya dari 22 kali survei sejak Januari 2015 yang dilakukan Litbang Kompas.
Ada pula hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dilaksanakan kurun 4-5 April 2024 dengan 1.201 responden yang diwawancarai melalui sambungan telepon. Dari aspek kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, hasil survei Indikator memperlihatkan bahwa Kejaksaan berada urutan pertama paling dipercaya oleh masyarakat dengan angka 74,7 persen, disusul kemudian Mahkamah Konstitusi 72,5 persen, pengadilan 71,1 persen, Polri 70,6 persen, dan di posisi terakhir ada KPK 62,1 persen.
Sebelumnya juga terdapat hasil survei wawancara tatap muka yang dilakukan Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) pada 13-18 Desember 2023. Responden survei sejumlah 1.300 orang tersebar secara proporsional di 34 provinsi di Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah saat survei dilakukan. Hasil survei CSIS membuktikan kepercayaan publik terhadap KPK berada di posisi 2 terbawah dengan angka 58,8 persen atau hanya 1 peringkat di atas DPR (56,2 persen), dari sembilan lembaga negara.
Hasil survei sejumlah lembaga yang selalu menempatkan posisi KPK pada posisi juru kunci, termasuk hasil survei terbaru Litbang Kompas (27 Mei-2 Juni 2024), tak membuat Wakil Ketua KPK Alexander Marwata terganggu. Meski demikian, dia tak percaya dengan hasil survei-survei itu. Argumentasinya, para responden survei-survei itu tak mungkin memahami secara utuh masalah korupsi di negeri ini dan enam tugas yang diemban KPK. Paling-paling para responden hanya tahu ihwal operasi tangkap tangan (OTT) dan penindakan KPK.
“Saya tidak percaya dengan survei-survei semacam itu. Dengan responden yang tidak jelas dan belum tentu memahami masalah korupsi dan tugas KPK, selain hanya isu OTT dan penindakan. Belum tentu respondennya itu (saat) ditanya tahu apa tupoksi (tugas pokok dan fungsi) KPK. Saya tidak terpengaruh dengan survei-survei seperti itu. Saya sama sekali tidak terpengaruh. Saya masih bisa tidur nyenyak,” ujar Alexander.
Pernyataan itu diutarakan Alexander saat acara diskusi yang digelar oleh Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dan Transparency International Indonesia (TII) dengan tema “Mencari Pemberantasan Korupsi: Menjaga Independensi, Menolak Politisasi”, di Jakarta, Jumat (21/6/2024).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata
Alexander menilai, para responden survei-survei semacam itu acap kali menggunakan indikator atau basis penilaian terhadap KPK hanya berdasarkan pada OTT yang dilakukan KPK. Kala KPK lama tak menggelar OTT dan tak ada berita yang ditayangkan televisi terkait OTT, kemudian opini publik menjadi turun. Alexander menyodorkan bukti, KPK sebelumnya pernah melakukan OTT terhadap menteri yang pada akhirnya dua pekan kemudian posisi KPK naik dalam survei.
“Kan begitu, lalu apa yang harus saya komentari terkait survei itu? Jadi, ya sudah, survei is survei, terima saja, enggak ada yang perlu dikomentari. ... Ya okelah OTT, ya syukur-syukur lah kalian dapat nanti kan, ya buat hiburan, ‘tinggggg’, buat masyarakat senang,” tuturnya.
Mantan hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta itu membeberkan, dalam konteks tugas KPK pada bidang penindakan, maka saat ini KPK tengah fokus pada penanganan kasus dugaan korupsi dengan kerugian negara jumbo serta penyelamatan dan pemulihan aset hasil kejahatan “kerah putih”. Di antara kasus tersebut, kata Alexander, yakni yang terjadi di tubuh perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan lembaga/instansi pemerintah yang memiliki anggaran besar.
Mantan penyidik sekaligus mantan ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo Harahap mengecam Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang menyampaikan pernyataan bahwa OTT yang dilakukan KPK sebagai hiburan semata dan untuk masyarakat senang. Menurut Yudi, jika level pimpinan KPK mencetuskan pernyataan seperti itu, maka akan tetap ada imbas negatif yang akan didulang KPK pada aspek kepercayaan rakyat.
“Suka-suka kaulah komentar Lex. Masa sekelas pimpinan KPK ngomongnya OTT hiburan, memangnya kalian menghibur siapa? Jangan salahkan rakyat menjadikan KPK menjadi lembaga penegak hukum paling tidak dipercaya,” ujar Yudi dalam cuitan di akun X miliknya @yudiharahap46, Jumat malam (21/6/2024). Yudi telah mengizinkan iNewsTangsel.id mengutip cuitannya.
Yudi menegaskan, Alexander Marwata seharusnya jangan sering-sering membuat pernyataan kontroversial, apalagi terkait dengan kinerja KPK. Secara pribadi, Yudi yang terlibat dalam banyak OTT ketika bertugas di KPK, mengaku tentu sakit hati dengan omongan Alexander. Bagi Yudi, Alexander seolah-olah tak menghargai pimpinan KPK sebelumnya sejak era pertama yang sudah melakukan OTT, serta tak menghargai kerja keras pegawai KPK termasuk penyelidik dan penyidik KPK baik mantan maupun yang sampai saat ini masih bekerja KPK melaksanakan kegiatan OTT, dengan penuh risiko yang bisa membahayakan bagi diri sendiri.
“Kita paham bahwa itu (OTT) adalah tugas negara dalam memberantas korupsi. Pernyataan Alexander tersebut seolah-olah OTT main-main, padahal OTT adalah penegakan hukum yang diatur dalam Undang-Undang KPK, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan KUHAP,” tutur Yudi saat dihubungi iNewsTangsel.id, di Jakarta, Minggu (23/6/2024).
Dari OTT, Yudi berujar, justru KPK berhasil menangkap menteri, pimpinan lembaga, legislatif, dan kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi dalam delik suap-menyuap. Dengan adanya OTT kemudian ditemukan dan disita barang bukti berupa uang, maka pelaku tak bisa menyangkal. Oleh karena ini, Yudi sangat heran mengapa pimpinan KPK bisa bicara serampangan seperti itu.
“Justru saat ini KPK belum melakukan OTT lagi makin membuat kepercayaan masyarakat menurun karena tidak ada prestasi yang membanggakan. Seperti yang dilansir survei terbaru Litbang Kompas. Masalah OTT bukan satu-satunya cara, memang iya, tapi jangan sampai juga dibilang OTT hiburan saja,” ungkapnya.
Peneliti sekaligus anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya Kharystya Putra menilai, hasil survei terbaru Litbang Kompas kurun 27 Mei-2 Juni 2024 khususnya terkait dengan posisi rendah KPK dalam persepsi publik tentu bukan hal yang mengejutkan jika melihat rekam jejak kinerja KPK selama setidaknya lima tahun terakhir dan beragam masalah yang terjadi mulai dari pelanggaran etik hingga perbuatan dugaan pidana. Satu di antaranya adalah kasus dugaan pemerasan tersangka Firli Bahuri.
“Saya yakin tidak pernah terbersit sedikitpun melihat KPK sejak lembaga antirasuah ini berdiri, citranya lebih buruk ketimbang institusi Kepolisian, bahkan DPR, mengingat masih maraknya korupsi politik belakangan waktu terakhir. ... Selain itu, ini juga perlu menjadi beban yang harus ditanggung oleh pemerintahan selanjutnya, dengan memprioritaskan agenda pemberantasan korupsi menjadi agenda prioritas yang harus segera dibenahi,” ungkap Diky dalam keterangan tertulis kepada para jurnalis, di Jakarta, Jumat (21/6/2024).
Di sisi lain, meski hasil survei sejumlah lembaga survei menunjukkan kepercayaan publik kepada KPK tak begitu membanggakan, tetapi kepercayaan publik perlu juga dilihat dari segi partisipasi khalayak dalam bentuk penyampaian laporan pengaduan masyarakat ke KPK.
Redaksi iNewsTangsel.id memperoleh data laporan pengaduan masyarakat tentang dugaan korupsi ke KPK kurun 2020 hingga Mei 2024. Dalam kurun waktu itu, KPK melalui Direktorat Pelayanan Pelaporan dan Pengaduan Masyarakat menerima total 14.288 pengaduan kasus dugaan korupsi yang disampaikan masyarakat. Rinciannya, yakni 2020 terdapat 4.151 laporan, 2021 ada 4.040 laporan, 2022 tercatat 4.424 laporan, 2023 terdata 4.387 laporan, dan 2024 (hingga Mei) ada 1.673 laporan. Laporan pengaduan disampaikan masyarakat melalui bermacam saluran seperti surat/fax, e-mail, KPK Whistleblower’s System (KWS), langsung/demonstrasi, telepon, massaging, dan media sosial.
Data di atas menyiratkan ada kecenderungan pengaduan masyarakat ke KPK meningkat per tahun, meskipun sempat terjadi sedikit penurunan pada 2021 (4.040 laporan) bila dibandingkan dengan tahun 2020 dan 2023. Dengan kecenderungan itu, maka dapat ditarik benang merah yakni partisipasi dan kepercayaan masyarakat terhadap KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya bidang penindakan masih tinggi. Selain itu, penyampaian laporan tersebut ibarat pengingat bahwa publik pun masih tetap berharap dan mendukung KPK untuk terus memberantas korupsi di Indonesia.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan, ada dua aspek yang dipandang KPK sehubungan dengan peningkatan laporan pengaduan masyarakat ke KPK kurun 2020 hingga Mei 2024. Pertama, terhadap obyeknya atau kasusnya, artinya masyarakat masih merasakan dampak dari korupsi pada layanan publik dan pemerintahan. Kerja-kerja penindakan yang diharapkan untuk menjerakan belum juga efektif menjerakan, ternyata masih ada yang hanya kucing-kucingan, yakni tiarap kala ada penegak hukum atau masih korupsi dengan diselimuti prosedural yang dipenuhi. Sehingga kata Ghufron, perlu strategi pencegahan dan pendidikan masyarakat untuk menopang kerja-kerja penindakan.
“Kedua, dari sisi pelapornya, yaitu masyarakat berharap dan percaya kepada kami akan memberantasnya. Karena itu, sekaligus juga kami mengapresiasi atas banyaknya laporan sebagai harapan dan kepercayaan masyarakat kepada kami untuk memberantas korupsi. Karena tanpa laporan, kami juga tidak bisa memulai proses penegakan hukum,” tegas Ghufron saat dihubungi iNewsTangsel.id, di Jakarta, Selasa sore (25/6/2024).
Mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu menjelaskan, semua kasus-kasus dugaan korupsi maupun yang disertai dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) berawal dari laporan pengaduan yang disampaikan masyarakat kepada KPK. Termasuk, kata Ghufron, kasus yang ditangani KPK kurun 2020 hingga 2024.
Satu di antaranya, Ghufron mencontohkan, yakni kasus dugaan pemerasan dalam jabatan sebesar Rp44.546.079.044 yang diduga dilakukan Syahrul Yasin Limpo selaku Menteri Kehutanan 2019–2023 bersama-sama dengan Kasdi Subagyono selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Kementan) dan Muhammad Hatta selaku Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, yang ketiganya masih sedang menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, saat berita ini dibuat dan ditayangkan. Selain itu, KPK juga turut menetapkan Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka kasus dugaan TPPU.
“Kasus-kasus yang ditangani KPK itu semua berawal dari laporan masyarakat. Misalnya, SYL di Kementan itu dilaporkan dari masyarakat. Sehingga, semua kerja KPK itu adalah berawal dan diinisiasi dari partisipasi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi,” ungkapnya.
Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di Pengadilan Tipikor Jakarta
Yudi Purnomo Harahap berpandangan, laporan pengaduan masyarakat tentang dugaan korupsi ke KPK dan penanganan kasus di KPK saling berpautan satu dengan yang lain. Tak bisa dipisahkan. Sebab, dari laporan masyarakat pula kemudian KPK menindaklanjutinya di antaranya dengan melakukan OTT.
Yudi menjelaskan, proses OTT dimulai dari pengaduan yang dilaporkan masyarakat tentang adanya dugaan korupsi dan kemudian diverifikasi. Jika verifikasi tersebut menghasilkan simpulan bahwa isi laporan benar disertai dengan bukti-bukti awal yang valid, maka dilakukan penyelidikan hingga kemudian dilakukan tangkap tangan terhadap pelakunya. Dalam proses itu juga, pimpinan mengetahui dan menyetujui proses OTT dengan memberikan surat perintah penyelidikan yang diteken pimpinan KPK.
“Laporan pengaduan masyarakat termasuk yang kemudian dilakukan OTT, menunjukkan adanya partisipasi masyarakat dan kepercayaan masyarakat kepada KPK bahwa KPK akan menindaklanjuti laporan pengaduan tersebut termasuk dengan kemudian melakukan OTT. Dan, informasi tersebut A1, yaitu akurat dan terpercaya,” ujar Yudi.
Keniscayaan Partisipasi dan Kepercayaan Publik
Johan Budi Sapto Pribowo berpandangan, partisipasi dan kepercayaan publik dalam upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga-lembaga penegak hukum baik Polri, Kejaksaan, KPK, dan pengadilan/Mahkamah Agung, termasuk tentu saja dalam pelaksanaan pencegahan korupsi, sangatlah penting. Menurutnya, partisipasi publik bisa dalam bentuk pemberian informasi sekaligus juga mengawasi proses penegakan hukum. Kita tahu bersama, kata Johan, kekuatan suara publik baik melalui media mainstream maupun media sosial bisa mempengaruhi proses penegakan hukum yang transparan dan adil.
“Kemajuan dunia digital atau teknologi komunikasi informasi membuat penegak hukum terawasi. Karena itu, penegak hukum tidak bisa lagi bermain mata, karena akan ketahuan. Sudah banyak contohnya,” ungkap Johan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP sekaligus mantan PLT Wakil Ketua KPK Johan Budi Sapto Pribowo
Nurul Ghufron menekankan, kehadiran KPK dilatari oleh setting antitesis terhadap penegak hukum yang tak bisa diharapkan dan dipercaya. Menurutnya, harapan dan kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum tak akan tumbuh pada personal, kecuali dengan sistem yang terus membuka ruang transparansi dalam menegakkan hukum dan kontrol yang kuat dari masyarakat. Begitupun bagi KPK yang selalu dalam sorotan dan kritik yang kuat dari masyarakat. Bagi KPK, hal demikian itu adalah kondisi yang harus dijaga.
“Karena hanya dalam kondisi demikian, segenap insan KPK berhati-hati dan menghindari pupusnya kepercayaan (masyarakat). Oleh karena itu bagi kami, kondisi kritis dan kontrol yang kuat dari media dan masyarakat kepada KPK adalah prasyarat. Bagaimanapun, para insan KPK adalah manusia juga yang harus terus dikontrol agar dapat dipercaya dan memenuhi harapan (masyarakat),” ujar Ghufron.
Yudi Purnomo Harahap membeberkan, hakikatnya partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi telah diatur secara spesifik dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. PP ini mengatur dan menjelaskan berbagai berbagai bentuk partisipasi masyarakat termasuk ihwal penyampaian laporan pengaduan masyarakat terkait dengan dugaan terjadinya korupsi kepada aparat penegak hukum. Yudi menggariskan, peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi secara umum ada dua yakni pencegahan dan penindakan.
“Saat ini yang paling terlihat terkait penindakan ya, bagaimana laporan-laporan kepada penegak hukum itu didapatkan dari masyarakat. Entah itu masyarakat umum, masyarakat yang menjadi ASN, masyarakat yang menjadi pejabat negara, atau siapapun yang tahu tentang kejadian tindak pidana korupsi,” ungkap Yudi.
Pada prinsipnya, kata dia, penegak hukum tidak mengetahui terjadinya korupsi mulai dari level pemerintah pusat seperti di kementerian dan lembaga hingga level daerah termasuk di level desa. Kecuali, ada pihak yang memberikan informasi. Sebab menurut Yudi, informan atau orang yang melaporkan tentu mengetahui atau memiliki peran signifikan dalam dugaan korupsi yang dilaporkan itu.
Dalam konteks pencegahan korupsi, bagi Yudi, masyarakat sebenarnya telah banyak melakukan pencegahan. Sebagai tamsil, ada banyak informasi viral di media sosial yang berisi di antaranya masyarakat menolak memberikan suap kepada oknum atau warga memviralkan terkait dengan pungli. Contoh seperti ini menurutnya, adalah bentuk peran serta masyarakat dalam pencegahan korupsi. Di sisi lain, tutur Yudi, pencegahan korupsi memang unik karena upaya ini sebagian besar tak kelihatan. Sedangkan, yang paling terlihat adalah penindakan korupsi.
“Penindakan adalah kampanye efektif untuk pencegahan korupsi. Karena, kondisi para pejabat kita ketika dicegah, diberikan sosialisasi antikorupsi, mengisi LHKPN, dan harus laporan gratifikasi misalnya, tetap saja mereka korup. Ini terbukti misalnya dari beberapa pejabat yang rutin melaporkan LHKPN di mana LHKPN merupakan salah satu instrumen pencegahan korupsi, tetapi tetap saja enggak sesuai dan mereka tetap lakukan korupsi dan ditangani penegak hukum,” tegas Yudi.
Anggota Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Pencegahan Korupsi Mabes Polri ini melanjutkan, partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi juga berbanding lurus dengan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum baik Polri, Kejaksaan, KPK, maupun pengadilan/Mahkamah Agung. Yudi berpandangan, kepercayaan masyarakat sangat penting untuk melihat sejauh mana harapan publik kepada aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Terutama, kata Yudi, perannya ada di KPK. Sekali lagi dia mengingatkan, KPK adalah lembaga yang didirikan ketika Kepolisian dan Kejaksaan yang kala itu dianggap belum mampu memberantas korupsi, sehingga kemudian KPK didirikan.
“Dan, KPK didirikan karena tuntutan reformasi tahun 1998 dan kepercayaan masyarakat bahwa masyarakat membutuhkan lembaga baru yang berbeda dengan lembaga penegak hukum konvensional lainnya. Kalau kita bicara mengenai apakah KPK (perlu) ada atau tidak ada, ya KPK tidak ada pun pemberantasan korupsi bisa dilakukan Kejaksaan dan Kepolisian. Tetapi, kepercayaan masyarakat-lah yang membuat KPK itu ada,” ujarnya.
Yudi mengungkapkan, ketika masyarakat tak percaya lagi atau kepercayaan publik terhadap KPK menurun drastis akibat berbagai kontroversi dan beragam permasalahan yang berasal dari internal KPK, maka beragam cibiran dan kritik dari masyarakat akan ditumpahkan di berbagai platform media sosial. Bahkan, ada masyarakat atau netizen yang mengatakan bubarkan saja KPK atau KPK dileburkan saja dengan Ombudsman RI (ORI).
Dia menjelaskan, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dulu kepercayaan publik begitu tinggi kepada KPK. Di masa silam, tutur Yudi, ketika KPK mengalami beragam kriminalisasi dan teror karena menangkap koruptor, kemudian masyarakat berbondong-bondong datang ke KPK serta memberikan dukungan dan membela KPK.
“Kita lihat sejarahnya waktu kriminalisasi terhadap Pak Bibit Samad Rianto dan Pak Chandra M Hamzah, itu ada dukungan 1 juta Facebooker. Kemudian, dukungan masyarakat terkait Bang Novel Baswedan, terkait Pak Abraham Samad dan Pak Bambang Widjojanto, kemudian juga penolakan revisi Undang-Undang KPK waktu itu dan penolakan calon pimpinan KPK bermasalah. Itu kan semuanya dukungan masyarakat. Nah sekarang kita lihat, sudah sedikit masyarakat mendukung KPK. Dan, itu menurut saya sudah sangat berbahaya kalau KPK tidak menunjukkan prestasi yang bagus, karena kepercayaan masyarakat mempunyai korelasi positif dengan kinerja KPK,” ucap Yudi.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait