GELAK tawa bergema di dalam auditorium Gedung Juang pada Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis siang (25/7/2024). Terlihat pula beberapa orang menggelengkan kepala sembari tersenyum simpul. Pemantiknya adalah pernyataan narasumber di atas panggung di depan podium berlogo KPK. Apalagi cetusannya satir dan berbasis fakta kiwari, ada banyak orang (mau) menjadi profesor abal-abal.
Narasumber itu adalah Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan. Para hadirin yang memenuhi auditorium di antaranya adalah Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana, Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK Inspektur Jenderal Polisi Didik Agung Widjanarko, dan jajaran KPK, serta tetamu yang terdiri dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Abdul Haris bersama 41 rektor perguruan tinggi se-Indonesia atau yang mewakili rektor dan jajaran perguruan tinggi.
“Pak Ghufron, saya bilang, ini profesor asli kalau yang hadir semua ini, Pak. Jadi, ini (41) mungkin ini rekor bahwa KPK kedatangan (41) profesor asli. Saya bilang, rekor ini KPK kedatangan profesor asli. Nanti kita catat, Pak, siapa saja yang datang. Karena Pak Dirjen Dikti kan selalu konsen dengan profesor-profesoran apa enggak. Saya bilang, ini asli, Pak,” kata Pahala Nainggolan semringah.
Bila kita mereviu kembali ingatan, maka di antara kita pasti paling tidak pernah menonton atau membaca atau melihat berita media massa tentang beberapa tokoh dan/atau pejabat publik yang memotong “kompas” untuk mendapatkan gelar profesor (guru besar) maupun telah atau mau menjadi profesor palsu alias abal-abal.
Pernyataan tadi diutarakan Pahala Nainggolan saat menyampaikan paparan dalam acara Kick-Off Meeting Pelaksanaan Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 yang digelar KPK. Di sela kegiatan ini pula, KPK melalui Pahala Nainggolan bersama rektor atau yang mewakili rektor dari 40 perguruan tinggi negeri (PTN) dan satu perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN) se-Indonesia menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) tentang Penyelenggaraan SPI 2024.
SPI dan Peran Perguruan Tinggi
Nurul Ghufron menyatakan, hakikatnya pemberantasan korupsi di Indonesia bukan tanggung jawab KPK belaka atau satu pihak saja tetapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Satu di antara elemen itu adalah perguruan tinggi atau kalangan sivitas akademika. Untuk itu, Ghufron mengajak 41 rektor atau yang mewakili rektor yang hadir dalam kegiatan ini untuk berpartisipasi aktif dalam upaya memberantas perilaku korupsi yang telah mengakar di negeri ini.
“Tugas pemberantasan korupsi itu bukan hanya tugas KPK saja, tapi tugas bersama baik dari eksekutif, legislatif, pelaku usaha, bahkan akademisi. Bapak–Ibu rektor yang hadir, perlu diingat bahwa perguruan tinggi memegang peranan yang sangat penting untuk menyemai dan melembagakan nilai-nilai integritas di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Oleh karena itu, mari kita bergandengan dalam memberantas korupsi di Indonesia,” ujar Ghufron saat memberikan sambutan dan membuka Kick-Off Meeting Pelaksanaan SPI 2024.
Mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu mengatakan, kolaborasi dan sinergi KPK dengan perguruan tinggi dalam pelaksanaan SPI 2024 tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan partisipasi elemen negeri dalam upaya pemberantasan korupsi. Tetapi, juga untuk meningkatkan pemahaman lingkungan kampus termasuk mahasiswa tentang potret birokrasi pemerintahan dan risiko korupsi di berbagai lembaga publik.
“Kami berharap semoga keterlibatan perguruan tinggi pada Survei Penilaian Integritas 2024 dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi peningkatan integritas lembaga publik di Indonesia. Dengan semangat kolaborasi dan komitmen yang kuat dari perguruan tinggi, diharapkan upaya ini dapat menghasilkan perubahan nyata dalam perang melawan korupsi, tidak hanya dalam konteks pendidikan tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia,” ucap Ghufron.
Pahala Nainggolan mengatakan, KPK mengapresiasi 40 PTN dan satu PTKIN yakni UIN Syarif Hidayatullah yang telah bersedia bekerjasama dengan KPK untuk penyelenggaraan SPI 2024. Tak lupa, Pahala berterima kasih kepada para rektor atau yang mewakili rektor yang hadir. Sebab, pelibatan 41 perguruan tinggi untuk pelaksanaan SPI 2024 adalah cara baru di tahun keempat pelaksanaan SPI.
Dia menjelaskan, secara sengaja KPK ingin agar perguruan tinggi juga ikut dalam proses pemberantasan korupsi. Musababnya, dalam Undang-Undang KPK disebutkan bahwa pemberantasan korupsi harus melibatkan seluruh elemen masyarakat. Sementara, tutur Pahala, KPK merasa elemen masyarakat yang perannya masih belum optimal adalah perguruan tinggi. Untuk itu, pimpinan KPK meminta secara khusus agar SPI 2024 harus melibatkan perguruan tinggi sebagai pelaksana dengan segala kompleksitasnya.
“Kita ingin universitas tahu dulu korupsi itu apa yang paling sering. Kalau sudah tahu apa, kemudian bisa merumuskan jalan keluarnya,” tegas Pahala.
Dia menekankan, kerja sama KPK dengan 41 perguruan tinggi dalam pelaksanaan SPI 2024 tentu akan membantu KPK dalam menyebarkan informasi terkait upaya pencegahan korupsi dan dalam rangka memetakan risiko korupsi di berbagai instansi termasuk di daerah. Dalam konteks ini pula, dari 41 perguruan tinggi pelaksana SPI 2024 sebagian besar berasal dari berbagai daerah.
“Pemerintah Daerah di Indonesia itu sangat banyak, 540 jumlahnya. Kalau ada pemerintah daerah bertanya terkait dengan capaian skor SPI, sangat sulit menjelaskan satu per satu. Untuk itu, kita dorong universitas dari berbagai daerah untuk terlibat, sediakan orang yang secara serius paham terkait dengan SPI. Nanti kita minta pemda untuk menghubungi universitas pengampunya,” tandas Pahala.
Daftar 41 Perguruan Tinggi. Infografis: Sabir Laluhu.
Abdul Haris menuturkan, kerja sama KPK dengan perguruan tinggi dalam pelaksanaan SPI 2024 merupakan pilar penting dalam membentuk tata kelola institusi, termasuk untuk mendidik mahasiswa yang berkarakter. Haris berharap, kerja sama ini bisa terus terjalin dan semakin intens di masa yang akan datang. Tujuannya, agar saling jaga antarpara pihak dalam membantu dan mendorong literasi dan akuntablitas lembaga publik khususnya perguruan tinggi.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Asep Saepudin Jahar menyatakan, pihaknya menyambut baik penandatanganan PKS antara KPK dengan UIN Jakarta dan 40 perguruan tinggi lainnya tentang penyelenggaraan SPI 2024. Kerja sama ini adalah bagian penting dari bentuk keterlibatan dan partisipasi aktif perguruan tinggi di Tanah Air dalam upaya pencegahan korupsi. Menurutnya, pemberantasan korupsi termasuk di dalamnya pencegahan korupsi merupakan tanggung jawab dari semua kalangan termasuk perguruan tinggi.
Bagi Asep, pelaksanaan SPI 2024 sangatlah penting guna mengukur sejauh mana tingkat integritas maupun kerawanan dan risiko korupsi di lingkungan instansi publik dari tingkat pusat hingga daerah. Di antaranya mencakup kementerian, lembaga, pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), hingga BUMN. Asep menuturkan, data KPK menunjukkan bahwa indeks integritas nasional 2023 berdasarkan hasil SPI 2023 berada di angka 70,97 (dari skala 0-100), menurun dari capaian 2022 dengan skor 71,94 dan dari capaian 2021 dengan skor 72,4.
“Kami dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu pelaksana dari penyelenggaraan Survei Penilaian Integritas 2024 tentu berharap indeks integritas nasional untuk tahun 2024 ini akan meningkat. Semoga juga hasil dari Survei Penilaian Integritas 2024 bisa tetap dipergunakan oleh berbagai pemangku kepentingan untuk pencegahan korupsi dan perbaikan layanan publik,” ujar Asep kepada iNewsTangsel.id, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (25/7/2024).
Rekomendasi Taktis dan Konstruktif
Berdasarkan dokumen KPK, pelaksanaan Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 dimulai pada 29 Juli 2024 yang dilakukan secara daring dan tatap muka. SPI 2024 akan melibatkan 640 lembaga publik baik kementerian, lembaga, BUMN, hingga lebih dari 540 pemerintah daerah baik provinsi, kota, dan kabupaten. SPI 2024 akan menjaring lebih dari 500.000 responden mulai dari kalangan internal instansi (pegawai), eksternal (pengguna layanan termasuk vendor pengadaan barang dan jasa), dan narasumber ahli (ekspert). Para responden yang disasar itu sebagai bentuk partisipasi publik dalam memberikan masukan kepada instansi atau para pemangku kepentingan (stakeholders) guna melakukan pencegahan korupsi berbasis data dan fakta yang diperoleh selama pelaksanaan SPI.
Pahala Nainggolan menyatakan, objek SPI termasuk SPI 2024 berbasis pada data bidang penindakan KPK. Misalnya apakah ada atau tidak jual-beli jabatan, pengadaan barang dan jasa, perizinan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan kewenangan, dan lain sebagainya. Pelibatan 640 lembaga publik, menurut Pahala, berarti hampir seluruh instansi di Indonesia akan mendapatkan skor yang menggambarkan kedalaman korupsi termasuk risiko korupsi di instansi masing-masing.
“Secara sederhana, kita bilang bahwa korupsi itu problem di Indonesia semuanya sudah tahu, tapi, masalahnya berapa dalam sebenarnya korupsi itu. Jadi, SPI ini sebenarnya apa? Kalau saya bilang, ini survei mengukur kedalaman korupsi di masing-masing instansi,” ujar Pahala.
Mantan auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pemibangunan (BPKP) itu membeberkan, selain SPI yang diampu KPK memang ada Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) berbasis Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun dan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diselenggarakan Transparency International setiap tahun. Meski demikian, tutur Pahala, KPK mendesain SPI sedemikian rupa untuk menutup beberapa kelemahan IPK. Musababnya, hasil skor IPK khususnya untuk Indonesia belum tentu ada kelanjutan implementasinya.
“SPI ini pasti punya tindak lanjut. Jadi misalnya, kalau ada kelemahan di pengadaan barang dan jasa kemudian apa yang harus dilakukan. Panduannya sudah kita siapkan. Kalau misalnya jual-beli jabatan, orang internal bilang masih ada jual-beli jabatan, maka panduannya sudah kita siapkan juga bagaimana memperbaikinya. Jadi, SPI ini lebih konstruktif,” ungkapnya.
Nurul Ghufron menekankan, SPI memang berbeda dengan IPAK dan IPK. Pasalnya, IPAK memotret persepsi dan pengalaman personal warga serta IPAK hanya mengukur budaya zero tolerance warga terhadap korupsi skala kecil (petty corruption) dan bukan korupsi skala besar (grand corruption). Sementara, IPK berbasis pada persepsi pelaku usaha dan penilaian ahli dengan delapan indikator. Sedangkan, SPI diselenggarakan dengan tujuan membantu institusi memetakan risiko korupsi, mengukur efektivitas upaya pencegahan korupsi, dan memberikan rekomendasi atau panduan perbaikan yang taktis dan aplikatif.
“Oleh karena itu, kita (dengan pelaksanaan SPI) memotret lebih detil di masing-masing instansi, lebih detil di masing-masing daerah, untuk kemudian membenahinya,” kata Ghufron.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait