JAKARTA, iNewsTangsel.id-E-commerce atau singkatan dari electronic commerce sudah menjadi suatu kebiasaan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia. E-commerce sendiri adalah segala kegiatan transaksi jual beli yang dilakukan dalam dunia maya menggunakan sarana internet. Penggunaan aplikasi-aplikasi e-commerce bukan hanyalah sebuah tren, namun telah berkembang menjadi industri jual beli yang besar dan berpengaruh.
Pelaku utama dari industri ini di negara Indonesia termasuk, Shopee, Tokopedia, Blibli, Lazada, dan Bukalapak. E-commerce bertumbuh pesat di Indonesia. Pada tahun 2023 sendiri, transaksi e-commerce sudah mencapai Rp780 triliun. Angka tersebut akan terus naik hingga diprediksi pada akhir tahun 2024, mencapai Rp 945 triliun. Perkembangan ini didukung oleh internet Indonesia yang kecepatannya terus-menerus meningkat setiap tahunnya.
Hal ini membuat keinginan perusahaan e-commerce internasional untuk mampu menguasai pasar jual-beli online semakin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan tren di tengah konsumen. Dengan pertumbuhan yang cepat dalam penggunaan smartphone dan akses internet, banyak pengguna yang beralih ke platform online untuk memenuhi kebutuhan mereka. Perusahaan-perusahaan seperti ini berupaya menjadi aplikasi nomor satu di bidang e-commerce dengan menghadirkan inovasi baru, pengalaman pengguna yang baik, serta berbagai promosi menarik. Mereka juga mengembangkan sistem pembayaran yang efisien, guna memastikan transaksi yang cepat dan aman. Strategi pemasaran yang cerdas dan kolaborasi dengan para pengusaha lokal semakin mendukung upaya mereka untuk menjangkau konsumen yang lebih luas secara global.
TEMU sebuah aplikasi e-commerce yang berasal dari China
Dengan perkembangnya teknologi, aplikasi-aplikasi e-commerce akan terus berkembang. Akan ada aplikasi baru dari berbagai negara. Salah satu contoh e-commerce yang akan dianalisa, ialah TEMU. TEMU merupakan sebuah aplikasi e-commerce yang berasal dari China. Hal yang membedakan TEMU dengan aplikasi e-commerce lainnya, TEMU menjual produk-produk mereka langsung dari produsen atau pabriknya sendiri. Tanpa adanya pihak ketiga atau reseller, konsumen dapat membeli barang jualan TEMU dengan harga yang sangat terjangkau. Cara bisnis TEMU berhasil karena menarik banyak pelanggan dengan harga murah. Artinya, meskipun margin keuntungannya lebih kecil dibandingkan penjual dalam negeri, angka penjualannya tetap tinggi untuk menghasilkan keuntungan.
Sejak dirilisnya aplikasi TEMU, mereka telah menganut strategi pemasaran yang agresif dan telah mendominasi media sosial. Dengan cara pemasaran mereka, telah menarik perhatian konsumen dari berbagai negara termasuk Amerika Serikat dan Inggris. Di Inggris, TEMU berhasil menjadi salah satu aplikasi berbasis online shopping paling banyak diunduh. Hal tersebut menandakan bahwa merk dari China bisa menguasai pasar internasional. Begitu pula di Amerika Serikat, pada bulan Oktober lalu, TEMU mencatat sudah memiliki lebih dari 100 juta pengguna.
Selain dengan cara TEMU mempromosikan aplikasinya, produk yang ditawarkan oleh mereka bermain peran yang besar dalam kesuksesannya. Barang-barang fashion, elektronik, hingga barang keseharian rumah tangga, dapat dibeli oleh konsumen. Keberagaman dari produk yang ada membantu menarik segala segmen konsumen, mulai dari membeli barang yang dibutuhkan hingga membeli barang-barang baru yang unik dan inovatif. Namun, walaupun TEMU sudah menikmati kesuksesan yang berlimpah, tantangan itu sendiri tetap ada. Persaingan ketat yang terjadi antara TEMU dan e-commerce seperti Amazon, Ebay dan platform lokal lainnya, merupakan tantangan yang cukup berat bagi TEMU.
Hal ini terjadi karena mereka semua sama-sama memiliki ambisi untuk bisa menguasai pasar lokal dan juga internasional serta isu keyakinan konsumen terhadap kualitas produk dari pabrik langsung yang juga menjadi perhatian. TEMU perlu memiliki tingkat verifikasi yang jelas terhadap produk-produk yang ditawarkan agar mampu mempertahankan dan meningkatkan basis penggunanya.
Kehadiran TEMU ke dalam Indonesia dapat mengancam UMKM yang ada di Indonesia. Platform yang sudah ada akan mendapatkan saingan yang besar, terutama dikarenakan TEMU berbasis produsen - konsumen tanpa melewati reseller. Aplikasi TEMU saat ini sedang mendaftarkan ulang untuk bisa masuk ke Indonesia setelah ditolak berkali-kali oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) karena dianggap sebagai ancaman bagi UMKM di Indonesia.
Namun menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), hal ini tidak bisa dihindari karena jika aplikasi TEMU mampu memenuhi syarat yang sesuai dengan Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan) 31, maka perizinan untuk aplikasi TEMU masuk ke Indonesia akan diizinkan. Namun, terdapat ancaman bagi keberlangsungan UMKM di Indonesia memicu persaingan harga yang tidak seimbang. TEMU telah mempromosikan produk-produk yang dijual untuk memiliki harga semurah mungkin. Dimana secara otomatis berarti harga produk sejenis di UMKM kalah jauh dengan harga yang ditetapkan di TEMU. Dengan itu, konsumen akan cenderung mengarah ke harga yang murah dan daya beli produk UMKM menurun.
Jika konsumen-konsumen Indonesia beralih ke TEMU untuk mencari potongan harga terbesar, maka tidak hanya UMKM namun e-commerce lainnya ikut terancam. E-commerce milik Indonesia sendiri seperti Tokopedia akan merasa tersaing dengan kedatangan TEMU. Mereka harus ikut melakukan penyusutan harga agar dapat menarik kembali perhatian konsumen. Tetapi, untuk melakukan itu akibatnya akan mempengaruhi upahnya.
Mengutip dari Schmidt di Vanderbilt Amerika Serikat, yang berspesialisasi dalam bidang keamanan dan privasi, “Ini adalah contoh menarik mengenai basis manufaktur di China yang sudah cukup canggih sehingga tidak perlu lagi melalui distributor. Mereka menjual langsung ke konsumen. Dan ada banyak orang yang dirugikan secara ekonomi dan mencari keuntungan,” katanya.
“Hal ini jelas akan memberikan tekanan pada produsen barang untuk semakin memangkas basis biaya dan struktur keuntungan mereka.” Fenomena aplikasi TEMU yang sudah memasuki pasar e-commerce internasional merupakan hal yang mampu dikaji dengan menggunakan teori globalisasi menurut Laurence E. Rothenberg. Dia mengungkapkan bahwa globalisasi ini terjadi karena cepatnya sebuah integrasi dan intensifikasi interaksi yang melibatkan masyarakat, perusahaan dan lain-lain seperti aplikasi TEMU sendiri yang dimana mereka mampu menyediakan koneksi agar masyarakat luas dari berbagai negara mampu membeli barang dari produksi pabrik China langsung.
Akibat dari globalisasi ini akhirnya berdampak kepada tingkat dari penggunaan teknologi, cara pandang masyarakat dalam memanfaatkan interaksi dengan dunia luar dan menyebabkan suatu fenomena modernisasi. Penggunaan Aplikasi TEMU merupakan salah satu bentuk dari globalisasi tersebut, dimana para penggunanya seakan mengutamakan sifat praktis yang disediakan oleh teknologi dari e-commerce itu sendiri dan juga memanfaatkannya sebagai tempat untuk mencari kebutuhan-kebutuhan yang lebih murah dari luar negeri. Hal ini tentunya akan berdampak kepada tingkat konsumtif dari para konsumennya karena harga yang sangat murah dan penggunaannya yang praktis yang pada akhirnya akan menyebabkan ketergantungan dan kurang mampunya masyarakat dalam menentukan skala prioritas.
Maka dari itu, fenomena aplikasi TEMU juga dapat dikaji menggunakan teori konsumerisme yang dijelaskan oleh Herbert Marcuse. Beliau mengatakan bahwa konsumerisme dipromosikan oleh kapitalisme dan masyarakat sendiri tertipu oleh sebuah sistem promosi kebutuhan palsu. Marcuse menganggap bahwa publikasi media massa berupa iklan di radio, televisi, dan media sosial, merupakan sebuah sarana untuk memanipulasi kebutuhan-kebutuhan palsu kepada masyarakat. Melalui iklan, suatu citra melekat kepada produk serta tertanam dalam pandangan konsumen. Hal itu akan semakin memperlaris barang dagang ke masyarakat.
Oleh karena itu, segala perangkat, perintilan, dan perhiasan dibeli atas dasar keinginan dan bukan kebutuhan. Konsumen berpengaruh atau istilahnya “termakan” oleh iklan-iklan yang telah dirancang dengan niat jelas, yaitu menarik daya beli mereka. Mereka yang kerja di dunia pemasaran produk yang ikut bertanggung jawab untuk periklanan, menciptakan kata “keinginan” menjadi beragam bentuk. Sehingga, para konsumen mempunyai rasa untuk membutuhkan barang tersebut walaupun tidak sepenting itu.
Menurut Charles Darwin manusia memiliki keinginan dalam konsumerisme seperti memenuhi kebutuhan (needs), yang menuju ke arah pemuasan hasrat (desire), dan gaya hidup (lifestyle). Maka dari itu masyarakat Indonesia akan merasa dengan adanya aplikasi e-commerce baru yang bisa saja menjual barang barang lebih murah maka mereka akan lebih tertarik menggunakan TEMU dibanding aplikasi lainnya. Anggapan bahwa masyarakat harus terus membeli juga datang dari segi pertumbuhan ekonomi. Saat TEMU hadir di Indonesia, masyarakat akan mengabaikan UMKM yang telah berjuang dan membeli dari aplikasi asing dengan harapan perekonomian di pasar internasional akan semakin berkembang. Namun, pada kenyataannya individu-individu yang mempunyai kebiasaan konsumerisme melakukannya untuk menemukan statusnya di masyarakat. Mereka membuang duitnya pada hal-hal yang menurutnya akan membawa dirinya ke status sosial yang lebih tinggi.
E-commerce hadir di tengah masyarakat dan telah menjadi pola kebiasaan bagi mereka yang suka berbelanja. Awal mula dari sebuah tren, sekarang merupakan industri jual beli besar yang mempengaruhi masyarakat luas. Di Indonesia sendiri e-commerce telah berkembang pesat dengan adanya aplikasi seperti Shopee, Tokopedia, dkk. Hal tersebut mengakibatkan munculnya pasar internasional melalui platform online.
TEMU, sebuah e-commerce yang berasal dari China, memberikan alternatif lain kepada masyarakat Indonesia. Namun, hal tersebut menciptakan kompetisi atau persaingan bagi e-commerce dan UMKM yang sudah memiliki nama di kalangan konsumen Indonesia. TEMU mempunyai keunggulannya sendiri yang dapat mengalahkan perusahaan-perusahaan lokal. TEMU menjual langsung dari produsen kepada konsumen tanpa harus melewati reseller, yang berarti harga jualnya lebih terjangkau. Lalu, produk-produk yang ditawarkan olehnya cukup bervariasi dari kosmetik hingga peralatan rumah tangga.
Dari fenomena yang muncul akibat hadirnya aplikasi TEMU di Indonesia, telah dianalisis menggunakan dua teori yaitu globalisasi dan konsumerisme. Dengan kedatangan TEMU dari China, masyarakat Indonesia akan terkejut dengan cara kerjanya e-commerce tersebut.
Masyarakat memanfaatkan teknologi yang sedang berkembang untuk mencari pasar yang lebih luas. Kehadiran TEMU sendiri merupakan imbas dari globalisasi dan modernisasi. Walaupun dengan hadirnya TEMU bisa jadi kemajuan di perekonomian dikarenakan penjualan tidak harus melewati reseller, namun hal tersebut tetap memberikan dampak negatif yang merugikan UMKM. Daya beli masyarakat Indonesia sudah sangat tinggi, atau konsumtif. Dengan harga barang yang dipotong oleh TEMU sendiri, masyarakat akan condong membeli yang lebih murah dibandingkan UMKM dengan harga normal.
Hal ini akan mempengaruhi keberadaan UMKM yang seharusnya bisa bersaing dengan kualitas yang baik, harus terkalahkan seiring berjalannya waktu karena sifatnya konsumen karena lebih memprioritaskan harga yang murah dan praktisnya keberlangsungan dari tren belanja online itu sendiri. Pada akhirnya TEMU merupakan aplikasi yang cukup baik dan modern bagi para konsumen yang memang hidup di era modern dan memerlukan suatu hal yang praktis dan efisien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ditulis oleh:
Alphonse Kei Prahastya Putra Prabowo
Latisha Kirana Sugarda
Ralph Gregory Altheo Simorangkir
(Siswa SMA Kolese Gonzaga, Jakarta)
Editor : Suriya Mohamad Said
Artikel Terkait