Penyerangan Mapolres Tarakan, Perlu Terobosan Substansial atasi Konflik TNI-Polri  

Thomas Manggala

Ketua Dewan Nasional SETARA Hendardi: Penyerangan Mapolres Tarakan, Perlu Terobosan Substansial atasi Konflik TNI-Polri  

JAKARTA, iNewsTangsel.id- Ketua Dewan Nasional SETARA Hendardi menilai pengeroyokan oleh TNI terhadap personel Polres Tarakan, Kalimantan Utara, sebagai tindakan premanisme memalukan.

Insiden ini membuat 5 polisi terluka karena dipukuli sekitar 20 anggota TNI terhadap anggota Polri, pada 24 Februari 2025 Pukul 23.00 WITA. 

“Penyerangan ke markas Polres Tarakan oleh 20 anggota TNI itu tindakan keji, premanisme, manifestasi jiwa korsa yang keliru dan memalukan. Apapun motivasi dan latar belakang penyerangan ini, tetap tidak bisa dibenarkan dan harus diproses secara hukum,” kata Hendardi melalui keterangan tertulis yang diterima Selasa (25/2/2025). 

Dia mengungkapkan, apapun motivasi dan latar belakang peristiwa penyerangan dan penganiayaan ini, tetap tidak bisa dibenarkan dan harus diproses secara hukum dalam sistem peradilan pidana umum. Konflik yang mengemuka dan menjadi kekerasan antara TNI dan Polri terus berulang.

Berdasarkan catatan SETARA Institute, konflik antara TNI dan polisi selalu dimulai dari persoalan pribadi. Semisal tersinggung karena sikap salah satu pihak maupun terprovokasi kabar bohong terhadap sebuah peristiwa. Bahkan lebih jauh lagi konflik antar dua instansi ini bisa terjadi karena perebutan kewenangan operasi di daerah tertentu. 

Catatan SETARA Institute tidak kurang dari 37 konflik dan ketegangan terjadi antara tahun 2014-2024. Angka ini merupakan fenomena gunung es, dimana konflik dan ketegangan yang tidak mengemuka, dipastikan lebih banyak dari yang tercatat di permukaan.  

“Hampir semua konflik lapangan dipicu oleh persoalan-persoalan yang tidak prinsipil dan tidak berhubungan dengan tugas kemiliteran seperti persoalan pribadi, ketersinggungan sikap, penolakan penindakan hukum sipil, kesalahpahaman dan provokasi kabar bohong atas suatu peristiwa yang melibatkan anggota TNI dan memicu penyerangan terhadap anggota atau markas polisi,”ungkapnya. 

Sekalipun tidak berhubungan dengan tugas kemiliteran, tindakan-tindakan itu tidak diproses dalam kerangka hukum pidana sebagaimana mandat UU TNI, dimana anggota yang melakukan tindak pidana umum, harus diproses dalam kerangka pidana umum.  Supremasi anggota TNI yang tidak tunduk pada peradilan umum inilah yang menjadi salah satu sebab keberulangan peristiwa.

Sementara itu, ketegangan di tingkat elit, sekalipun tidak mengemuka, dipicu oleh perebutan kewenangan operasi di daerah tertentu, pemeranan yang dianggap tidak merata dalam jabatan non-militer, dan berbagai residu politik masa lalu, dimana sebelumnya Polri adalah bagian dari TNI.

Menurut Hendardi, petinggi dari dua institusi itu juga tidak mampu menyelesaikan akar masalah yang memicu konflik pada anggota mereka di lapangan. Penanganan terhadap konflik di TNI maupun Polri hanya ditutupi secara simbolis dengan dalih sinergitas. 

Padahal kondisi di lapangan menunjukkan mereka kerap bersinggungan satu sama lain. “Penanganan konflik secara substantif dan fundamental harus menyasar pada kepatuhan terhadap disiplin bernegara dan berdemokrasi. Masing-masing institusi harus menjalankan perannya tanpa melampaui batas-batas tugas dan fungsinya,” ucap Hendardi. 

Selama ini, penanganan konflik dan ketegangan di akar rumput hanya diselesaikan secara simbolis dan di tingkat elit. Kondusivitas dan sinergi artifisial selalu didengungkan oleh TNI-Polri, tetapi tidak menyelesaikan akar persoalannya, termasuk abai membangun karakter dan mentalitas patriotik anggota. 

Penanganan konflik dan ketegangan secara substansial dan fundamental harus menyasar kepatuhan pada disiplin bernegara dan berdemokrasi, yang meletakkan supremasi sipil sebagai pemimpin politik.

Masing-masing institusi, sesuai dengan desain konstitusional menjalankan perannya, tanpa melampaui batas-batas tugas dan fungsi yang bukan merupakan mandat konstitusionalnya. 

Tuntutan peningkatan disiplin dalam berdemokrasi juga dialamatkan pada politisi-politisi sipil yang tidak percaya diri, tanpa melibatkan TNI dan Polri. Politisi tidak perlu menggoda TNI-Polri memasuki arena yang bukan merupakan tugas dan fungsinya. 

Adapun Pembejalaran dari berbagai konflik dan ketegangan TNI-Polri, mesti menjadi pedoman bagi DPR yang sedang berencana merevisi UU TNI, UU Polri, UU Kejaksaan, dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) agar tetap patuh dan konsisten pada desain konstitusional dan ketatanegaraan yang sudah menggariskan tugas dan fungsi masing-masing institusi, sebagaimana selama ini berjalan. 

“Jangan mencoba merekayasa pasal yang melampaui ketentuan UUD Negara RI 1945, hanya karena ingin memanjakan institusi-institusi tertentu, yang justru menimbulkan kekacauan konstitusional dan instabilitas politik baru,”ucapnya. 

Sebagai informasi, penyerangan oleh personel TNI itu berlangsung sekitar pukul 23.00 WITA, mereka membawa batu, kayu, dan besi saat mendatangi Polres Tarakan. Anggota TNI datang memakai truk hijau menuju Bank Mandiri di Jalan Yos Sudarso, Tarakan. 

Mereka turun dari truk dan berjalan menuju Mako Polres Tarakan. Tiba di Mako Polres Tarakan, anggota TNI ini langsung memukul polisi yang sedang berjaga. Mereka lalu merusak beberapa peralatan yang ada di tempat itu.

Tak berselang lama, datang anggota polisi lain ke Polres Tarakan. Mereka juga turut menjadi korban akibat dikejar oleh anggota TNI itu.

Editor : Hasiholan Siahaan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network