JAKARTA, iNewsTangsel.id - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) kembali menjalin kerja sama dengan Asosiasi Inventor Indonesia (AII) dalam melakukan valuasi dan komersialisasi teknologi hasil riset terhadap 88 invensi dari Program Grant Riset Sawit (GRS) 2021–2023.
Melalui seleksi ketat yang melibatkan Tim Ahli Internal dan Eksternal AII, terpilih 16 invensi yang siap dikomersialisasi. Dari jumlah tersebut, sembilan invensi telah memperoleh Letter of Intent (LOI) atau Surat Pernyataan, dan empat di antaranya telah mendapatkan Non-Disclosure Agreement (NDA) atau Perjanjian Kerahasiaan. Selain itu, AII terus mendorong komersialisasi invensi dari GRS 2019–2021, dengan hasil tambahan dua LOI dan satu NDA.
Saat ini, dua invensi telah siap dikomersialisasi, yakni:
- SLL, hasil inovasi Dr. Erwinsyah dari PPKS Unit Bogor, yang telah masuk tahap komersial.
- Lemak Kalsium, inovasi Prof. Lienda, yang telah diuji coba dalam lingkungan nyata melalui proyek percontohan (pilot project) dengan KPBS Pengalengan.
Ketua Umum AII, Prof. (Ris). Ir. Didiek Hadjar Goenadi, M.Sc., Ph.D., IPU., INV, mengatakan bahwa kerja sama antara BPDP dan AII sejalan dengan misi AII dalam membantu inventor mengatasi hambatan komersialisasi, memperkuat kapasitas inovasi, serta membekali inventor dengan keterampilan pemasaran teknologi mereka, tegasnya, Sabtu (1/3/2025).
Sebagai bagian dari sosialisasi kerja sama ini, AII mengadakan Seminar Teknologi Kelapa Sawit untuk peningkatan daya saing industri. Seminar ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk inventor, akademisi, regulator, asosiasi industri, serta investor, termasuk dua investor asal Tiongkok. Seminar ini menghadirkan narasumber, Lila Harsyah Bakhtiar – Direktur Industri Hasil Pertanian Kementerian Perindustrian (mewakili Dirjen Industri Agro, Ir. Putu Juli Ardika, MA), Muhammad Alfansyah, SH., MH – Direktur Penyaluran Dana BPDP, Petrus Tjandra, MBA – CEO Agro Investama Group dan Ir. Muhammad Ibnu Fajar, MSi – Ketua Bidang Kerja Sama AII.
Dalam paparannya yang berjudul "Program Grant Riset Sawit (GRS) untuk Kemajuan Riset dan Inovasi", Muhammad Alfansyah mengapresiasi AII atas komitmennya dalam menilai dan menjembatani inovasi agar dapat diterapkan di industri sawit nasional.
"Setiap tahun ada sekitar 800 invensi, dan tahun ini diperkirakan mencapai 1.000 invensi yang mendapat pendanaan dari BPDP melalui program GRS. Kami berharap semakin banyak invensi yang dapat dikembangkan dan memberikan dampak positif bagi industri sawit Indonesia, yang saat ini masih menghadapi berbagai tantangan," ungkap Muhammad Alfansyah.
Ia juga menyoroti bahwa industri sawit nasional akan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, baik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun kesejahteraan petani dan pelaku industri.
"Harga bukan lagi faktor utama dalam penyerapan minyak sawit dunia. Ada tantangan besar dalam menambah nilai produk sawit agar tetap kompetitif, bahkan jika harga Crude Palm Oil (CPO) kita tidak lebih murah dibanding komoditas lain. Ini menjadi salah satu fokus riset ke depan," tambahnya.
Muhammad Alfansyah juga mengungkapkan bahwa BPDP berencana memperluas cakupan program GRS ke sektor kelapa dan kakao pada 2025 atau 2026. Namun, ia juga menyoroti bahwa dana riset yang berasal dari pungutan ekspor CPO masih sangat kecil, hanya sekitar 1–2% dari total dana yang dikelola. Dari 400 penelitian yang dibiayai BPDP, baru 26 yang berpotensi dikomersialisasi, dengan 16 telah berhasil dikomersialisasikan, 10 dalam proses, dan 4 telah mendapatkan NDA.
"Kami berharap di GRS berikutnya akan ada lebih banyak hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan langsung oleh industri dan masyarakat. Sehingga penggunaan dana BPDP dari pungutan ekspor CPO dapat dipertanggungjawabkan dengan baik," jelasnya.
Sejak didirikan, BPDP masih mengalokasikan sebagian besar dana untuk program biodiesel, sesuai arahan Presiden dalam upaya meningkatkan ketahanan energi nasional. Namun, di masa depan, dana ini diharapkan dapat lebih seimbang untuk sektor lain, seperti peremajaan sawit, infrastruktur, pengembangan SDM, serta program riset dan inovasi.
"Kami berharap dapat terus bekerja sama dengan AII agar riset-riset ini tidak hanya menjadi laporan di rak buku, tetapi benar-benar bisa masuk ke dunia industri dan memberikan manfaat nyata," ujarnya.
Dalam sesi pemaparan bertajuk "Penguatan Industri Kelapa Sawit Nasional Berbasis Teknologi Dalam Negeri", Lila Harsyah Bakhtiar menjelaskan bahwa pemerintah terus mendorong hilirisasi industri sawit untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing global.
"Sawit berkontribusi besar bagi pendapatan negara, tetapi industri ini juga menghadapi tantangan besar. Oleh karena itu, kami terus mengembangkan inovasi hilirisasi, seperti pangan dan pakan berbasis sawit, biomaterial, serta oleokimia," ungkapnya.
Ia juga menyoroti perlunya penerapan teknologi untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi minyak sawit. Saat ini, rendemen ekstraksi minyak dari kebun rakyat rata-rata hanya 16,3%, sedangkan target optimalnya adalah 22–24%. Peningkatan ini dapat dicapai melalui injeksi teknologi, yang akan mendukung keberlanjutan industri sawit.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan insentif bagi industri yang mengadopsi teknologi hasil riset, termasuk insentif pajak untuk industri pionir. Pemerintah juga tengah menyusun kebijakan jangka panjang untuk pengolahan biomassa sawit dan menyediakan fasilitas pilot plant bagi industri.
Petrus Tjandra, MBA, dalam paparannya "Invensi Kelapa Sawit untuk Peningkatan Daya Saing Industri", menegaskan bahwa inovasi tidak hanya bertujuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk kemandirian dan kedaulatan bangsa.
"Inventor tidak hanya butuh dukungan moral, tetapi juga pendanaan agar inovasi mereka bisa dikomersialisasikan. Saat ini, masih sedikit hasil penelitian yang benar-benar dapat diterapkan di industri," katanya.
Ia juga menyoroti tantangan dalam dunia riset, di mana banyak penelitian hanya fokus pada aspek akademis tanpa mempertimbangkan aplikabilitas komersialnya.
"Banyak riset di Indonesia masih terjebak dalam paradigma akademis, tanpa mempertimbangkan bagaimana hasilnya bisa diterapkan di industri. Padahal, jika kita bisa memanfaatkan biomassa sawit secara optimal, kita bisa mengurangi ketergantungan impor untuk berbagai kebutuhan, termasuk sandang yang saat ini 97% masih berbasis kapas impor," jelasnya.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait