Menurutnya, masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam aspek pengetahuan, jaringan, dan kuasa, sering kali kalah ketika berhadapan dengan perusahaan besar.
“Satu-satunya cara memenangkan perjuangan ini adalah membangun jaringan gerakan yang kuat. Perpindahan lokasi ibadah ini adalah bukti adanya relasi kuasa yang memaksa masyarakat berpindah lokasi ibadah. Ini relasi kuasa yang nyata!” tegasnya.
Dalam sesi wawancara, Penrad Siagian mengungkapkan keharuannya melihat perlawanan terhadap PT TPL kembali menguat dengan hadirnya berbagai pemimpin gereja, organisasi non-pemerintah (NGO), dan masyarakat sipil.
“Saya sangat bangga dan bahagia. Gerakan melawan PT TPL ini hidup kembali. Ini adalah kebangkitan baru perlawanan terhadap kezaliman yang sudah berlangsung puluhan tahun. Saya melihat harapan itu tumbuh kembali,” katanya.
Ia juga menegaskan komitmennya untuk membawa persoalan ini ke tingkat nasional.
Menurutnya, pemerintah harus transparan terkait konsesi PT TPL karena banyak desa tiba-tiba diklaim masuk dalam wilayah konsesi tanpa kejelasan batasnya.
“Saya sudah meminta kepada pemerintah agar transparan soal konsesi ini. Kita tidak tahu batas-batasnya. Tiba-tiba satu desa dianggap bagian dari konsesi. Ini harus dihitung ulang agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan,” ujarnya.
Selain itu, Penrad Siagian mendesak agar dilakukan audit sosial dan lingkungan terhadap PT TPL. Ia menyoroti dampak sosial yang ditimbulkan akibat keberadaan perusahaan tersebut, termasuk jatuhnya korban jiwa.
“Kerusakan sosial sudah terjadi, seperti yang dialami Sorbatua (Ketua Komunitas Adat, Ompu Umbak Siallagan atau Sorbatua Siallagan). Ini harus diaudit! Negara harus menjamin hak warga untuk hidup di atas tanah mereka sendiri, sebagaimana dijamin dalam konstitusi,” katanya.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait