BisaMatikan Ekosistem Industri Dalam Negeri, APSENDO Ingatkan Bahaya Penghapusan Impor Tanpa Seleksi
JAKARTA, iNewsTangsel.id- Para pelaku industri ethanol nasional yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) ikut menyuarakan keprihatinan yang serius atas inisiatif pemerintah Republik Indonesia untuk meniadakan persyaratan Persetujuan Impor (PI) bagi produk ethanol dengan kode Harmonized System (HS) 2207 (dikategorikan sebagai Bahan Bakar Lain). Hal tersebut dinilai akan merusak ekosistem bahkan mematikan industri dalam Negeri.
Rancangan perubahan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 30 Tahun 2023 juncto Permendag Nomor 8 Tahun 2024, yang saat ini sedang dalam tahap Public Hearing, menjadi fokus utama perhatian asosiasi.
Perlu diketahui, ethanol memiliki beragam klasifikasi HS Code yang berbeda. Pertama, HS Code 2207.20.11 adalah ethanol denaturasi ≥99% (fuel grade) untuk biofuel, yang impornya masih mungkin dipertimbangkan secara terbatas melalui kajian mendalam.
Kedua, HS Code 2207.10.00 adalah ethanol tidak denaturasi, umum digunakan dalam farmasi, industri makanan dan minuman, serta pengolahan rempah.
Ketiga, HS Code 2207.20.19 mencakup ethanol denaturasi lainnya untuk kosmetik, keperluan rumah tangga, dan berbagai aplikasi teknis industri. Sehingga penghapusan PI secara menyeluruh tanpa membedakan klasifikasi ini akan menimbulkan risiko besar bagi berbagai sektor.
Menyikapi isu genting ini, Izmirta Rachman, selaku ketua umum APSENDO, menyampaikan bentuk kekhawatirannya dan merasa sangat khawatir dengan rencana penghapusan PI untuk seluruh golongan ethanol dalam HS Code 2207.
Izmirta Rachman mengatakan Pemerintah memang belum memberlakukan aturan itu saat ini namun sudah ada public hearing pemerintah kepada pelaku industri bahwa akan diterapkan deregulasi dan kami sudah melihat draftnya kebijakan ini akan memberikan dampak signifikan pada produk ethanol bukan hanya ethanol berbahan bakar saja tapi juga ethanol non berbahan bakar akan terkena imbasnya.
“Kami tidak melawan kebijakan deregulasi tersebut tapi hanya memberikan masukan jangan 2207 itu terlalu general sehingga bisnis ethanol yang ada masih bisa tetap hidup tidak terbanjiri produk import tetapi program mandatory ethanol untuk bahan bakar bisa berjalan lebih dahulu sambil melihat industri ethanol yang akan dibangun sehingga tidak mengganggu devisa Negara,”ujarnya dalam jumpa pers pernyataan sikap APSENDO terkait Bahaya Penghapusan Impor Ethanol Tanpa Seleksi di kawasan Wahid Hasyim, Selasa (20/5/2025).
Dia mengungkapkan bahwa kebijakan ini, jika tidak dikelola dengan kehati-hatian dan tanpa pembedaan yang jelas, akan menjadi hantaman berat bagi industri ethanol nasional yang telah melakukan investasi signifikan danmemberikan kontribusi nyata bagi perekonomian negara.
“Kami memahami keinginan pemerintah untuk melancarkan arus perdagangan, namun kelonggaran impor ini seharusnya tidak mengorbankan eksistensi industri strategis di negeri sendiri.”ungkap Izmirta.
APSENDO menegaskan bahwa kebijakan ini, apabila diterapkan tanpa pertimbangan selektif berdasarkan jenis ethanol dan peruntukannya, berpotensi besar meruntuhkan pilar-pilar industri ethanol di tanah air.
“Jelas kebijakan ini tentu akan mengancam keberlanjutan sektor pergulaan nasional, serta memberikan dampak buruk secara langsung kepada para petani tebu.
Lebih jauh, asosiasi melihat bahwa adanya pelonggaran aturan impor ini terkesan hanya menitikberatkan pada kemudahan pemasukan barang dari luar negeri tanpa adanya timbal balik berupa kemudahan ekspor, sehingga menimbulkan tanda tanya besar mengenai keberpihakan pemerintah terhadap kemajuan industri dalam negeri” pandangnya.
Penghapusan kewajiban Persetujuan Impor (PI) untuk seluruh jenis ethanol tanpa adanya pertimbangan yang cermat berpotensi memicu dampak signifikan bagi keberlangsungan industri dan stabilitas ekonomi nasional.
Pertama, industri ethanol dalam negeri, yang memiliki kapasitas produksi melampaui 300 ribu kiloliter per tahun, dapat terancam oleh kelebihan pasokan dan persaingan yang tidak sehat dari produk impor.
Dia menjelaskan bahwa kondisi ini secara langsung mengganggu ekosistem industri gula, mengingat pabrik ethanol merupakan konsumen utama molasses. Jika ethanol impor membanjiri pasar, penyerapan molasses akan terhambat, bisa berpotensi menimbulkan penumpukan limbah dan bahkan mengancam keberlangsungan produksi gula, yang pada akhirnya menghambat upaya swasembada gula.
Lebih lanjut, kebijakan ini dapat menggerus potensi devisa negara dari ekspor ethanol, yang saat ini mencapai lebih dari USD 150 juta per tahun. Pelemahan daya saing produk lokal akibat impor bebas diperkirakan dapat menurunkan angka ekspor secara signifikan, bahkan berisiko mengubah Indonesia dari negara pengekspor menjadi pengimpor neto ethanol.
Selain itu, risiko penyalahgunaan ethanol sebagai komoditas strategis untuk kegiatan ilegal, seperti produksi minuman beralkohol tanpa izin, akan meningkat seiring dengan longgarnya pengawasan distribusi.
Dampak sosial dan ekonomi lain yang dapat mengkhawatirkan adalah potensi hilangnya lapangan kerja dan investasi lokal di sektor industri ethanol dan gula jika pasar domestik dibanjiri produk impor.
Dia pun menjelaskan bahwa dengan terhambatnya perkembangan industri bioethanol nasional juga akan menghambat upaya dekarbonisasi dan melanggengkan ketergantungan pada energi fosil. Padahal, pasar ethanol domestik saat ini sudah mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri, sementara potensi permintaan untuk fuel grade bioethanol sangat besar.
Terakhir, pendapatan petani tebu juga akan terancam akibat terganggunya stabilitas industri gula secara keseluruhan” tegas Izmirta.
Menyikapi potensi dampak negatif deregulasi impor ethanol, APSENDO pun ikut mendesak pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang lebih terukur, yaitu pendekatan diferensial berdasarkan kode HS.
“Untuk HS 2207.20.11 (fuel grade ethanol), impor dapat dipertimbangkan secara terbatas dan dengan pengawasan ketat demi mendukung program biofuel nasional, dengan prioritas utama tetap pada pemanfaatan pasokan dalam negeri” kata Izmirta.
“Sementara itu, untuk HS 2207.10.00 dan HS 2207.20.19 (ethanol industri & teknis), APSENDO merekomendasikan agar kewajiban Persetujuan Impor (PI) tetap diberlakukan.
Langkah ini dinilai krusial untuk menjaga keberlangsungan industri ethanol lokal, melindungi sektor pergulaan nasional, serta menjamin kesejahteraan petani tebu.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan pihaknya berpandangan bahwa deregulasi di ranah ekspor ethanol justru lebih mendesak untuk direalisasikan, mengingat saat ini ekspor ethanol masih dibebani persyaratan Persetujuan Ekspor (PE) dan Laporan Surveyor (LS) yang dinilai menghambat daya saing di pasar global.
APSENDO mengimbau pemerintah untuk tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan terkait kebijakan deregulasi ini, melainkan melibatkan para pemangku kepentingan industri ethanol dalam dialog yang konstruktif dan didasarkan pada data yang akurat.
“Asosiasi berkeyakinan bahwa deregulasi yang tidak terukur hanya akan menghasilkan efisiensi semu dan berpotensi merusak ketahanan ekonomi nasional pada sektor yang memiliki nilai strategis ini” tutup Izmirta.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait