JAKARTA, iNewsTangsel.id - Sidak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (Demul) ke pabrik Aqua di Subang, beberapa waktu lalu, selain memunculkan polemik soal istilah “air pegunungan”, juga menyingkap persoalan jalan rusak akibat truk kelebihan muatan. Kondisi ini menimbulkan reaksi publik tentang hubungan antara sains, etika, dan tanggung jawab sosial.
Diketahui, dalam video yang diunggah melalui kanal YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel (KDM), saat meninjau pabrik AMDK menjadi perbincangan hangat di media sosial. Ia tampak heran ketika mengetahui air pegunungan yang diambil bukan dari mata air permukaan, melainkan dari empat sumur bor dengan kedalaman lebih dari 100 meter.
“Jadi, penggunaan istilah “air pegunungan” yang tertera di kemasan produk itu, bagaimana? Karena kalau air dari pegunungan seharusnya berasal langsung dari mata air di permukaan, bukan dari sumur bor,” tanya Dedi dalam video tersebut.
Namun, peneliti hidrologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rachmat Fajar Lubis, menilai pandangan itu keliru. Pengambilan air melalui pipa vertikal justru merupakan metode ilmiah untuk menjaga kemurnian air pegunungan dari potensi cemaran.
“Hampir semua perusahaan AMDK mengambil air di sekitar mata air yang sama dengan cara tersebut. Tanah di permukaan banyak mengandung mikroba dan bisa terpapar aktivitas manusia atau hewan. Jadi, pipa dipasang untuk mengambil air dari lapisan yang terlindungi,” ujar Fajar di Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Menurutnya, air yang langsung muncul di permukaan berisiko terkontaminasi bakteri. Sementara, air dari akuifer dalam terlindungi oleh lapisan kedap air yang menjaga kemurniannya secara alami.
“Karena secara geologis, sumbernya berada di kawasan gunung dan mengalir alami di bawah tanah. Jadi, airnya tetap dari ekosistem pegunungan, hanya teknis pengambilannya berbeda. Ini bukan manipulasi, tapi bentuk kehati-hatian,” terang Fajar.
Di sisi lain, sidak tersebut justru membuka masalah lain. truk pengangkut AMDK tersebut kedapatan membawa muatan hampir tiga kali lipat dari batas wajar. Satu truk disebut memuat hingga 14 ton, padahal izin hanya 5 ton.
“Praktik overloading seperti ini menjadi salah satu penyebab utama kerusakan jalan provinsi dan risiko kecelakaan. Sehingga menimbulkan kerugian negara mencapai miliaran rupiah setiap tahun,” tegas Demul.
Dari Penelitian Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) pada 2021 menemukan, sebagian besar truk pengangkut produk AMDK itu di jalur Sukabumi–Bogor melanggar batas muatan. Praktik tersebut, meski menghemat ongkos logistik hingga Rp480 miliar per tahun, tapi malah menyebabkan kerugian publik dalam bentuk infrastruktur yang rusak dan potensi korban jiwa.
Kasus tragis terjadi pada Februari 2025, ketika truk pengangkut galon kehilangan kendali di Gerbang Tol Ciawi dan menewaskan delapan orang. Dugaan awal menyebut, rem blong akibat kelebihan muatan sebagai salah satu penyebabnya.
Selain itu, Data Komisi V DPR RI mencatat, kerusakan jalan akibat truk bermuatan berlebih menelan biaya perbaikan hingga Rp40 triliun per tahun. Angka itu setara dengan beban sosial dan ekonomi yang kembali ditanggung masyarakat.
Menanggapi kedua masalah tersebut, pihak Danone Indonesia selaku produsen AMDK itu menjelaskan, terkait sumber air, seluruh sumber airnya tetap berasal dari daerah pegunungan, hanya saja diambil dari akuifer dalam yang bersifat self-flowing atau mengalir alami.
“Kami mengambil air dari 19 titik sumber di pegunungan Indonesia, dengan proses seleksi ilmiah yang ketat,” tulisnya dalam keterangan.
Sementara, terkait masalah armada distribusi, pihak perusahaan mengaku sebagian besar armada dikelola oleh pihak ketiga.
Namun, para pengamat menilai tanggung jawab moral tetap berada pada perusahaan utama untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan keselamatan dan batas muatan.
Editor : Elva Setyaningrum
Artikel Terkait
