JAKARTA, iNewsTangsel - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menuntut pemerintah melakukan perbaikan menyeluruh terhadap sistem pengelolaan sampah nasional. Kritik tajam ini muncul menyusul penutupan TPA Cipeucang yang memicu penumpukan sampah di berbagai wilayah Kota Tangerang Selatan (Tangsel).
Manajer Perkotaan Berkeadilan WALHI, Wahyu Eka Styawan, menekankan perlunya kebijakan zero waste city dari pemerintah pusat untuk mengurangi sampah dari sumbernya. Ia juga menyoroti tanggung jawab produsen melalui Extended Producer Responsibility (EPR) serta redesign produk ramah lingkungan.
"Pemerintah pusat harus memaksa penerapan kebijakan berbasis konsep Zero Waste City yang menekankan pengurangan di hulu, sistem guna ulang, dan tanggung jawab produsen melalui skema EPR, termasuk desain ulang produk agar minim sampah," ujar Wahyu dalam keterangan resminya.
Wahyu menilai penutupan TPA Cipeucang melanggar Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Undang-undang tersebut mengharuskan pengelolaan sistematis, larangan pembuangan terbuka, dan upaya pengurangan sampah di tingkat hulu.
Pemerintah Tangsel dinilai gagal mencapai target pengurangan sampah yang telah ditetapkan. Sementara itu, pemerintah pusat belum mampu mendorong kebijakan strategis yang menyelesaikan masalah dari akarnya.
"Solusi jangka panjang harus berfokus pada pengurangan sampah dari sumbernya, bukan sekadar memusnahkan di hilir," tegas Wahyu.
WALHI memperingatkan bahwa tanpa perubahan mendasar, krisis sampah seperti di TPA Cipeucang akan berulang, mirip kasus TPA Piyungan di Yogyakarta. Penutupan ini seharusnya menjadi peluang untuk mereformasi kebijakan pengelolaan sampah secara nasional.
"Penutupan TPA Cipeucang harus menjadi momentum koreksi total terhadap kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia," katanya.
Sebelumnya, penumpukan sampah terjadi di pinggir jalan dan permukiman warga Tangsel, menyebabkan aroma busuk yang mengganggu kesehatan masyarakat. Kondisi ini semakin parah sejak 10 Desember 2025, dengan tumpukan menggunung di lebih dari enam titik, termasuk kolong flyover Ciputat dan depan Pasar Cimanggis.
TPA Cipeucang hanya mampu menampung 300-400 ton sampah per hari, padahal produksi harian Tangsel mencapai sekitar 1.000 ton. Akibatnya, pengangkutan sampah tidak efektif, meninggalkan residu yang menimbulkan risiko lingkungan dan sosial.
Krisis ini bukan hanya isu teknis sementara, melainkan hasil dari kurangnya perencanaan berbasis data oleh pemerintah. Lonjakan volume sampah yang tidak diantisipasi memperburuk situasi, menuntut intervensi kebijakan jangka panjang segera.
WALHI menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, produsen, dan masyarakat untuk mencapai pengelolaan sampah berkelanjutan. Dengan demikian, Tangsel bisa menjadi contoh kota yang berhasil mengatasi masalah lingkungan melalui pendekatan holistik.
Editor : Aris
Artikel Terkait
