Seiring dengan itu, ia mulai bekerja part-time di satu restoran di Toronto. “Tahun pertama puasa saya bolong-bolong juga karena masih adaptasi dan bekerja. Tetapi bila mulai kerja pukul 06.00 sore saya bisa puasa,” imbuh dia.
Saat berpuasa, Dhafa tetap bergaul dengan teman-teman kuliahnya yang nonmuslim. Terkadang seusai kuliah ia diajak nongkrong di restoran untuk ngobrol sembari makan siang. Dia ikut saja, tetapi tidak menyentuh makanan di meja sehingga sang teman bertanya-tanya.
“Awalnya mereka heran melihat saya tidak makan dan minum. Tetapi setelah saya jelaskan, mereka mengerti dan memahaminya. Bahkan ada yang bertanya lebih jauh tentang Islam,” tutur pria yang menyelesaikan SMA-nya di Sunway Collage Subang Jaya Malaysia tersebut. Keadaan berubah total pada masa pandemi. Tidak ada lagi aktivitas di tempat umum, termasuk masjid yang dibatasi operasionalnya.
Namun, kini sudah berangsur normal. Ramadan tahun ini, salat lima waktu sudah bisa digelar di masjid, juga tarawih. Sejak menetap di Kanada, putra dari pasangan Choirul Anam dan Seska Mutiara, yang berasal dari Sidoarjo dan Banyuwangi, Jawa Timur ini, merasakan kerinduan dengan kemeriahan Ramadan di Indonesia ataupun di Malaysia.
Begitu masuk bulan suci, suasana sontak berubah, malam banyak kegiatan tadarus, kegiatan pengajian di siang hari di masjid-masjid digelar setiap hari dan banyak bazaar yang menjual takjil. “Di sini paling hanya buka puasa bersama,” tukasnya. Soal makanan, Dhafa merasa cocok-cocok saja dengan menu iftar yang disajikan masjid komunitas Srilanka, tempat ia sering berbuka puasa.
Ada menu seperti sirup dan es buah, kue yang berasa manis dan nasi briyani, kari dan roti. “Enak kok,” kata dia. Bungsu dari dua bersaudara ini memang memilih studi di negara di belahan Amerika Utara, sejak bersekolah di Malaysia.
Di sekolahnya itu memiliki akses kuliah di Kanada, sehingga tidak perlu mengikuti penyetaraan. Ia tertarik dengan budaya di negara koloni Inggris itu, yang terbuka seperti Amerika Serikat, tetapi lebih ramah. Di samping itu, tujuh teman SMA-nya yang merupakan warga Malaysia juga kuliah di Toronto.
“Orangtua mendukung untuk sekolah di luar negeri seperti kakak saya kuliah di Sidney, Australia. Walaupun mereka sempat bertanya juga mengapa saya memilih sekolah yang jauh,” katanya. Kini, di tahun akhir kuliahnya, Dhafa memiliki kesibukan menjadi peneliti di kampus maupun bekerja sama dengan pihak luar kampus.
Dia pun sudah diajak bergabung di lembaga riset WIMTEC yang merupakan milik Centenilai College, begitu menamatkan kuliahnya. Semoga sukses Dhafa!.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait