get app
inews
Aa Read Next : KPUD Sebut Anggaran Pilkada Tangsel 2024 Capai Rp 47 Miliar

Terbukti Langgar Etik, Romo Magnis dan Akademisi Desak KPU Bertanggung Jawab

Kamis, 08 Februari 2024 | 12:46 WIB
header img
Diskusi Publik bertajuk "Menyoal Langkah Mitigasi KPU Cegah Delegitimasi Hasil Pilpres 2024", di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2024).

JAKARTA, iNewstangsel - Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan KPU melanggar kode etik terkait penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres pada Pilpres 2024. Kesalahan fatal KPU berpotensi mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara Pemilu dan menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.

Berkaitan dengan itu, kuasa hukum Penggugat, Sunandiantoro, S.H.,M.H. menyikapi hasil keputusan DKPP dalam acara diskusi publik bertema "Menyoal Langkah Mitigasi KPU Cegah Delegitimasi Hasil Pilpres 2024", di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2024).

"Pelanggaran etik ya pelanggaran hukum, tidak dapat dipisahkan. Jika kita baca Keputusan DKPP terlahir berdasarkan banyaknya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh KPU pada saat memproses pendaftaran Gibran, putusan tersebut dapat memicu konflik horizontal di masyarakat serta menghilangkan kepercayaan publik" tegas Sunandiantoro dalam diskusi.

Untuk itu, Sunandiantoro mendesak KPU segera merevisi surat keputusan penetapan calon presiden dan wakil presiden dengan cara merubah dan mendiskualifikasi Paslon Prabowo-Gibran karena mengakibatkan delegitimasi Pilpres 2024.

KPU, kata dia, harus bertanggung jawab untuk menghindari hilangnya kepercayaan rakyat Indonesia kepada KPU juga menghindari komisioner KPU dari tindak pidana pemberian keterangan palsu.

"Oleh karena itu perlu ada gerakan mendorong dan mendesak KPU segera melakukan perbaikan keputusan tata usaha negara yang dibuatnya sendiri jika memang KPU beritikad baik menjaga bangsa dan negara ini, khususnya keselamatan rakyat. Tidak menutup kemungkinan antar pendukung paslon terjadi konflik akibat delegitimasi hasil pilpres. Oleh karena itu KPU harus bertanggungjawab, jangan menunggu adanya upaya hukum di lembaga peradilan,” terangnya.

Direktur Presisi, DR. Demas Brian W, SH, MH berpendapat keputusan KPU masih bisa berubah karena bagian dari keputusan tata usaha negara. Namun, kata Demas, harus ada itikad baik dari lembaga negara itu sendiri dan melalui proses peradilan.

"Tentunya kita menginginkan KPU memiliki itikad baik setelah diberi peringatan oleh DKPP yaitu dengan memperbaiki keputusan yang telah dinyatakan cacat etik oleh DKPP," ujar Demas dalam diskusi.

Sementara itu budayawan, Romo Franz Magnis Suseno  juga menegaskan bahwa melanggar aturan dan mengabaikan etika adalah sesuatu yang salah. Menurut dia, etika menjadi tolak ukur pembeda antara manusia dengan hewan.

“Untuk itu jangan sampai negara ini dipimpin oleh orang yang membuang etika di tempat sampah,” tegas Romo Magnis.

Pemateri diskusi lainnya, DR. Maruarar Siahaan, SH, MH mengakui bahwa kondisi saat ini menunjukkan sistem hukum dan peradilan di Indonesia susah dipercaya. Menurutnya, pemerintahan sekarang terlalu berfokus pada pembangunan infrastruktur, namun lupa dengan sistem hukum dan peradilan yang ada.

"Kondisi ini tentunya menuntut kesadaran kita sebagai bangsa untuk memperbaikinya," ujarnya.

Sementara itu, pembicara diskusi lainnya DR. Charles Simabura, SH, MH secara tegas menyatakan bahwa DKPP harus bertindak tegas sebagai lembaga negara.

"Peringatan Keras Terakhir yang kedua kalinya menunjukkan DKPP tidak tegas. Setidaknya sanksi berikutnya adalah pemberhentian sementara atau tetap," kata Charles.

Pendapat lain disampaikan Prof. Ikrar Nusabakti, Ph.D bahwa jika pemilu 2024 hasilnya tidak legitimate, yang ada dalam pikiran adalah bagaimana sebuah pemerintahan bisa terjadi atau bisa berjalan dengan baik.

"Legitimasi pemerintahan itu bukan hanya menentukan siapa pemimpinnya, tetapi kemenangan dalam pemilu itu apakah diterima  oleh masyarakat atau tidak," urainya.

Dalam politik, kata Ikrar, seseorang bisa saja memiliki power tetapi dia tidak memiliki otoritas politik. Artinya, jika kekuasaan yang diperoleh tidak legitimate, maka rakyat akan memandang kekuasaan yang diperoleh akan dianggap tidak ada. Sebaiknya, jika kekuasaan yang diperolehnya dengan cara yang baik, maka akan memiliki otoritas.

Hadir pula Ray Rangkuti Direktur Eksekutif Lingkar Madani yang menekankan kepada publik bahwa harus ada standart moral atau dalam islam disebut akhlak. Jadi secara moral harusnya Gibran mengundurkan diri dari statusnya sebagai Cawapres.

“Seharusnya Gibran mengundurkan diri sebagai cawapres. Karena jika tidak maka standart moral dan akhlaknya ya sebatas itu, dan ini berbahaya,”tegasnya.

Menyoroti keputusan DKPP terhadap KPU, mewakili penyelenggara, Edesman menilai persoalan etika dan dasar hukum merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan.

"Hukum tidak bisa dipisahkan dengan etika. Siapapun yang melanggar/cacat etika, pasti melanggar/cacat hukum. Dampak dari keputusan DKPP ini akan menyebabkan tindak pidana bagi individual ketua dan komisioner KPU itu sendiri," tegas Edesman.

Lebih jauh Edesman melihat bahwa saat ini pejabat yang beretika dan bermoral sangat langka. Belakangan, dua lembaga yang dipercaya menjaga marwah Indonesia terbukti melakukan pelanggaran etik. Ia berharap dalam Pemilu ini, Bawaslu jangan sampai terperosok dijalan yang sama yang penuh drama etika.

"Jika Mahkamah Konstitusi dan KPU yang merupakan penjaga marwah Indonesia pernah melakukan pelanggaran etik, lalu lembaga mana lagi yang bisa dipercaya untuk menjaga marwah Indonesia, gara gara meloloskan Gibran,”papar Edesman.

Editor : Hasiholan Siahaan

Follow Berita iNews Tangsel di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut