JAKARTA, iNewsTangsel.id - Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram tentang Hukum Permintaan dan/atau pemberian imbalan atas proses pencalonan pejabat publik.
Fatwa haram diterbitkan dalam forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Kalimantan Selatan pada 2018. Fatwa tersebut menyatakan bahwa:
1. Suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenanganya hukumnya haram, karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.
2. Meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
3. Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislative, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
4. Imbalan yang diberikan dalam proses pencalonan dan/atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh berharap fatwa ini dapat menjadi pedoman bagi umat Islam dalam memilih pemimpin pada Pemilu 2024.
Dia juga mengajak seluruh masyarakat untuk menjaga kondusivitas menjelang pencoblosan Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024.
"Pemilu merupakan instrumen untuk mewujudkan tujuan bernegara, yaitu kedamaian dan kesejahteraan umum. Mari jaga kondusivitas untuk mewujudkan pesta demokrasi yang damai, adil, jujur, dan bermartabat," ujar Niam di sela-sela Rapat Pimpinan MUI di Jakarta, Selasa (13/2/2024).
Niam menegaskan bahwa dalam sistem politik Indonesia, setiap warga negara memiliki hak untuk memilih. Hak tersebut harus digunakan secara baik dan bertanggung jawab untuk mewujudkan kepemimpinan publik yang baik.
"Memilih pemimpin yang mampu menjaga agama, mengurusi urusan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan hukumnya wajib. Sebaliknya, golput dan membiarkan pemimpin lalim dan tidak kompeten terpilih adalah haram dan berdosa," tegas Niam.
Memilih pemimpin, kata Niam, harus didasarkan pada pertimbangan kompetensi dan amanah kepemimpinan untuk mewujudkan kemaslahatan.
"Setelah mendengar visi misi calon dalam masa kampanye, saatnya kita kontemplasi dan memilih sesuai hati yang jernih. Mintalah pertolongan Allah SWT agar diberi pemimpin yang jujur, amanah, memiliki kemampuan ekskusi, dan kompeten. Tidak boleh memilih karena sogokan atau pemberian harta," imbuhnya.
Niam juga mengingatkan bahwa calon pemimpin tidak boleh menghalalkan segala cara untuk terpilih, seperti menyuap atau melakukan serangan fajar. Menerima sogokan politik dan memilih orang yang tidak kompeten juga haram hukumnya.
Niam berharap Pemilu 2024 dapat berjalan dengan lancar dan damai, serta menghasilkan pemimpin yang amanah dan kompeten untuk membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar