JAKARTA, iNewsTangsel.id - Polemik putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 02/MKMK/L/11/2023 yang mendasari pencopotan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MKMK) terus berlanjut. Bahkan Anwar kembali diputus melanggar kode etik MK karena mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Peneliti dan Praktisi Hukum Nimran Abdurrahman, SH.,MH berpendapat bahwa pencopotan Anwar Usman dalam jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dan pelarangan Anwar Usman untuk ikut memutus beberapa perkara di MK, serta terakhir putusan yang menyatakan Anwar Usman melanggar kode etik karena mengajukan gugatan di PTUN merupakan keputusan yang cacat secara hukum , diskriminatif dan anomali.
Nimran menjelaskan, keputusan pencopotan Anwar Usman mestinya tidak dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, sebab sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka (4) UU No 8 tahun 2011 ttg Perubahan Atas UU 24 Tahun 2003 tentang MK "MKMK adalah perangkat yang dibentuk oleh MK untuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi yang diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi".
"Berdasarkan itu, jelaslah bahwa Putusan MKMK merupakan putusan yang bersifat rekomendatif, yang berarti tidaklah wajib untuk dibahas dan diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim konstitusi. Apalagi proses dan putusan MKMK sendiri berpotensi tidak sesuai dengan ketentuan UU dan Peraturan MK sendiri," Jelas Nimran dalam rilisnya di Jakarta pada Senin 8 Maret 2024.
Pertama, menurut Nimran, sidang MKMK dilakukan secara terbuka, padahal menurut Peraturan Mahkamah Konstitusi (MKMK) harusnya tertutup. Kedua, putusan MKMK tidak memiliki kualifikasi sebagaimana putusan MKMK berdasarkan PMK Nomor 1 Tahun 2023, antara lain tertutupnya hak banding bagi Anwar Usman padahal telah diatur dalam PMK tersebut.
Lanjut menurut Nimran, meski ada yang menyatakan terdapat terobosan hukum dalam proses dan putusan MKMK, namun yang harus diketahui bahwa MKMK bukanlah hakim peradilan yang diberikan hak dan wewenang sesuai dengan asas dalam peradilan dan UU Kehakiman yang dapat memutuskan suatu perkara bahkan tidak ada aturannya. MKMK haruslah tetap bekerja berdasarkan UU, PMK dan Kode Etik di MKMK.
Dengan demikian, mestinya Hakim MK tidak langsung memutuskan pencopotan sebagai Ketua dan Pembatasan kewenangan sebagai Hakim Konstitusi terhadap Anwar Usman. Mestinya Hakim MK dalam rapat permusyawaratan hakim secara detail memeriksa dan memahami bahwa proses dan putusan MKMK sendiri tidak mematuhi UU dan PMK.
Bukannya langsung mencopot Anwar Usman dari jabatan ketua sekaligus membatasi kewenangannya sebagai hakim dalam ikut serta memutuskan berbagai perkara di MK.
Kedua, Putusan MKMK yang kembali menjatuhkan putusan melanggar kode Etik terhadap Anwar Usman karena melakukan konferensi pers mengajukan gugatan kepada PTUN merupakan sidang dan putusan yang tidak menjunjung tinggi hak asasi Anwar Usman sebagai pihak yang merasa dirugikan atas keputusan Ketua MK dan eksistensi Lembaga Peradilan resmi PTUN yang harusnya juga dijunjung tinggi.
Ketiga, pencopotan Anwar ini sangat nampak politis. Kenapa demikian, karena sebelumnya beberapa hakim pernah dijatuhi sanksi etik, namun sanksi etik terhadap Anwar sangatlah berbeda dan penuh dengan keanehan.
"Karena itu, menurut hemat saya sebagai pegiat dan praktisi hukum, pengembalian jabatan Ketua MK dan kewenangan mengadili perkara terhadap Anwar Usman harus pulihkan atau harus dilakukan segera," Tutup Nimran dalam komentarnya
Seperti diketahui, Anwar Usman diputus melanggar kode etik MK oleh MKMK pada Selasa 7 November 2023, kemudian dengan dasar itu ia dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK pada Kamis 9 November 2023. Anwar kemudian kembali diputus melanggar kode etik oleh MKMK dalam putusan nomor 01/MKMK/L/03/2024, putusan 02/MKMK/03/2024, karena Anwar melakukan konferensi pers dan mengajukan gugatan di PTUN atas pencopotan dirinya sebagai Ketua MK.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta