Pada pertengahan tahun 2023, beberapa Hakim Agung yang menolak dipanggil untuk menghadap Wakil Ketua Mahkamah Agung RI, Sunarto. Selanjutnya, diduga atas intervensi pimpinan Mahkamah Agung RI, para Hakim Agung diminta membuat surat pernyataan yang diketahui oleh masing-masing Ketua Kamar dan ditandatangani di atas materai, yang pada pokoknya menyatakan kesediaan dilakukan pemotongan honorarium sebesar 40%, dengan rincian 29% untuk “tim pendukung teknis yudisial” dan sisanya untuk supervisor serta tim pendukung administrasi yudisial.
Tudingan ini langsung dibantah oleh juru bicara Mahkamah Agung RI, Suharto, sehari sebelum diskusi publik melalui konferensi pers di Yogyakarta (17/9). Dalam pernyataannya, Suharto menegaskan bahwa:
1. Ada sembilan proses untuk menyelesaikan sebuah perkara di MA yang tidak hanya melibatkan Hakim Agung, tapi juga staf lainnya.
2. Pimpinan Mahkamah menyepakati sebagian Dana Honorarium Penanganan Perkara sebesar 40% didistribusikan kepada unit pendukung yang terdiri dari supervisor, tim pendukung teknis, dan manajemen, yang dituangkan dalam Keputusan Panitera Mahkamah Agung Nomor: 2349/PAN/HK.00/XII/2023 tentang Penetapan Satuan Besaran Honorarium Penanganan Perkara di Mahkamah Agung RI.
3. Tidak ada pemotongan HPP yang dilakukan secara paksa dengan intervensi pimpinan MA.
4. Pernyataan IPW tentang adanya tindak pidana korupsi berupa pemotongan HPP sebesar Rp 97 miliar adalah tidak benar, karena didasarkan pada pengolahan data dan informasi yang keliru.
Namun, menurut Sugeng Teguh Santoso, SH, Ketua IPW, bantahan Suharto justru mengkonfirmasi bahwa pemotongan dana HPP bagi hakim agung memang terjadi dan tidak memiliki landasan hukum. Fakta bahwa setiap pegawai di unit pendukung hanya menerima Rp 500 ribu per perkara dari dana pemotongan HPP sebesar Rp 97 miliar menunjukkan bahwa ada ketidaksesuaian dengan apa yang diklaim.
“Dugaan adanya intervensi pimpinan Mahkamah Agung RI terlihat dari format dan isi surat pernyataan yang seragam, yang dikoordinir oleh pimpinan dan/atau tidak berdasarkan kehendak secara sukarela para hakim agung. Ini menunjukkan adanya pemaksaan yang bersifat masif dan terorganisir,” ujarnya.
Editor : Hasiholan Siahaan