JAKARTA, iNewsTangsel.id -Pemotongan Honorarium Hakim Agung di Mahkamah Agung RI pada tahun anggaran 2022-2023-2024 dalam penanganan perkara (HPP) yang diperkirakan bernilai sebesar Rp 97 miliar telah dikonfirmasi sebagai dugaan tindak pidana korupsi. Hal ini terkait dengan dugaan pemerasan jabatan (kneveleraij) yang dilakukan secara berkelanjutan.
Kasus ini perlu diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pelakunya harus segera ditangkap. Tindakan ini diduga melanggar Pasal 12 huruf E dan F juncto Pasal 18 UU RI No. 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 serta PP No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan No. 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi juncto Pasal 55 ayat 1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP juncto Pasal 3 dan 4 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Gratifikasi. Hal ini mengemuka dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Indonesia Police Watch bersama sejumlah lembaga penggiat anti-korupsi di Jakarta pada Rabu (18/9/2024).
Para narasumber diskusi antara lain ahli pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, SH, MH; mantan Komisioner KPK, Saut Situmorang; Koordinator MAKI, Boyamin Saiman; Koordinator TPDI, Petrus Selestinus; Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, SH; dan dipandu oleh moderator wartawan senior Hursubeno Arief.
"Unsur dugaan pidana korupsi pemberian gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UU RI No. 20 Tahun 2021 setidaknya telah terpenuhi," ujar Boyamin Saiman, SH, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi dalam paparannya.
Pemotongan dana honorarium penanganan perkara sebesar 25,95% (di luar pemotongan untuk supervisor sebesar 7% dan 4% untuk tim pendukung administrasi yudisial) dari rekening Hakim Agung dilakukan tanpa persetujuan tertulis maupun lisan dari Hakim Agung, yang awalnya mendapat penolakan dari beberapa Hakim Agung dalam berbagai forum.
Editor : Hasiholan Siahaan