Nyawa Anak Hilang dan Istri Kehilangan Kaki, Muji Handoyo Berjuang Mencari Keadilan

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Muji Handoyo terus berjuang mencari keadilan atas kelalaian seorang sopir dari perusahaan ekspedisi PT KM yang menyebabkan putrinya meninggal dunia serta membuat istrinya kehilangan kedua kakinya.
Setelah menunggu sekitar tujuh bulan, laporan polisi yang ia ajukan sejak 29 Agustus 2024 di Polres Metro Bekasi akhirnya diproses pada 4 Maret 2025.
Didampingi tim hukum dari LQ Indonesia Law Firm yang bergerak atas dasar kemanusiaan, Muji dan keluarganya mendatangi Komisi III dan V DPR RI untuk mengajukan permohonan audiensi dan perlindungan hukum.
“Agenda hari ini sesuai dengan komitmen kami dalam mendampingi korban, yaitu mengambil berbagai langkah hukum dan melakukan audiensi dengan instansi pemerintah, khususnya Komisi III dan V DPR RI,” ujar advokat LQ Indonesia Law Firm, Alkausar Akbar, di Gedung DPR RI.
Sebagai kuasa hukum Muji, Akbar menjelaskan bahwa surat permohonan audiensi telah mendapat tanda terima dan saat ini sedang diproses dalam jangka waktu tiga hari kerja. Selain itu, pihaknya juga berencana mengajukan aduan ke Komnas HAM dan Mabes Polri terkait kasus ini.
“Saat ini kami menunggu jawaban atas surat permohonan audiensi. Kami juga akan menempuh langkah hukum lanjutan dengan melaporkan kasus ini ke Komnas HAM dan Mabes Polri,” ujar Muji dalam keterangannya, Kamis (13/3/2025).
Sementara itu, advokat Nathaniel Hutagaol dari LQ Indonesia Law Firm menegaskan bahwa pendampingan terhadap Muji dan keluarganya dilakukan atas dasar kemanusiaan.
“Kami di sini bukan membela hilangnya uang atau barang, tapi nyawa seorang anak dan kaki seorang ibu. Perusahaan itu masih berdiri di Daan Mogot, dan kami meminta agar mereka diperiksa,” tegas Nathaniel.
Ia juga mendesak anggota DPR RI di Komisi III dan V untuk segera memproses permohonan audiensi dan memeriksa perusahaan ekspedisi tersebut.
“Saya harap ini segera diproses. Periksa mereka, jika perlu cabut izinnya! Jangan lagi mereka mempekerjakan sopir berusia sekitar 60 tahun. Masa harga nyawa manusia hanya Rp50 juta? Di Papua, harga babi saja lebih mahal. Ini penghinaan! Kami meminta anggota dewan segera menindaklanjuti permohonan kami agar perusahaan ini diperiksa dan izinnya dicabut,” tandasnya.
Editor : Hasiholan Siahaan