Transformasi Digital UMKM Butuh Pendekatan Holistik dan Terintegrasi

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Percepatan transformasi digital sektor UMKM dinilai krusial untuk mendukung tercapainya target ekonomi digital nasional. Namun, studi terbaru dari DFS Lab dan Somia CX menunjukkan bahwa sebagian besar program pemberdayaan UMKM masih bersifat parsial dan belum menyentuh kebutuhan fundamental usaha.
"Sebagian besar inisiatif hanya fokus pada pelatihan keterampilan digital, padahal tantangan utama UMKM lebih kompleks, dari permodalan hingga pemasaran lintas platform," ujar Jake Kendall, Founder dan Direktur DFS Lab, Senin (9/6/2025).
Dalam kajiannya terhadap program onboarding digital, DFS Lab dan Somia CX menemukan bahwa mayoritas program bersifat jangka pendek, terfragmentasi, dan belum sepenuhnya mendukung pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan. Pelaku UMKM dinilai belum mendapat pendampingan menyeluruh dari sisi manajemen usaha, literasi keuangan, hingga kesiapan produk sebelum masuk ke platform digital.
Hal ini menjadi perhatian serius mengingat proyeksi nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai Rp 2.100 triliun pada 2025 dan tumbuh menjadi Rp 5.953 triliun pada 2030. Kontribusinya terhadap PDB nasional diproyeksikan mencapai 11%, dengan target ambisius sebesar 20% pada 2045.
Pemerintah sendiri telah menginisiasi platform SAPA UMKM untuk mengonsolidasikan berbagai program pemberdayaan ke dalam satu kerangka terintegrasi. Langkah ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto dalam Asta Cita yang menempatkan UMKM dan digitalisasi sebagai pilar pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029.
Meski demikian, tantangan masih membayangi. Banyak pelaku UMKM belum mampu mempertahankan kehadiran digital secara konsisten atau naik kelas meski telah mengikuti pelatihan. Perbedaan model bisnis dan operasional antar platform digital juga menyulitkan perancangan kurikulum pelatihan yang benar-benar menyeluruh.
“Digitalisasi bukan akhir, tapi awal dari proses pemberdayaan. Dibutuhkan pendekatan holistik, mulai dari desain program, seleksi peserta, pelatihan aplikatif, hingga pendampingan pasca program,” tegas Jake.
Ia juga menekankan pentingnya pelibatan komunitas lokal, penyampaian manfaat melalui studi kasus, serta pemberian insentif agar program memiliki daya tarik dan dampak nyata.
Senada, Nathaniel Orlandy, Senior Experience Design Consultant Somia CX, menyoroti lemahnya koordinasi antarlembaga dan kurangnya basis data yang menghambat keberlanjutan program.
“Banyak pelaku UMKM tidak tahu ada program yang sesuai kebutuhan mereka. Sementara sebagian lainnya mengikuti pelatihan yang sama berulang karena kontennya tidak berkembang,” jelas Nathaniel.
Ia menekankan perlunya penyusunan program yang inklusif dan sesuai dengan profil peserta, seperti wirausaha perempuan, pelaku usaha di pedesaan, dan penyandang disabilitas.
Untuk itu, Kementerian Koperasi dan UKM saat ini tengah mengembangkan pusat data UMKM guna meningkatkan efektivitas dan ketepatan sasaran program. Dengan data yang akurat, kata Jake, penyusunan strategi bisa lebih adaptif terhadap kebutuhan pelaku usaha di berbagai tahapan.
“Ini peluang besar untuk menyatukan upaya lintas sektor, agar pemberdayaan UMKM menjadi lebih sistematis, berdampak, dan berkontribusi nyata terhadap ekonomi digital Indonesia,” tutup Jake Kendall.
Editor : Hasiholan Siahaan