Polemik Penulisan Ulang Sejarah: DPR Desak Tragedi Pemerkosaan Massal Warga Tionghoa 98 Dicantumkan!

JAKARTA, iNewtangsel.id – Peristiwa pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998 dinilai tak terbantahkan keberadaannya dan harus masuk dalam naskah sejarah resmi. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, menegaskan hal ini berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM.
Oleh karena itu, Lalu Hadrian menyatakan bahwa Kementerian Kebudayaan memiliki kewajiban untuk menuliskan peristiwa keji yang menimpa perempuan keturunan Tionghoa tersebut dalam sejarah resmi yang sedang disusun.
"Tentu kita juga harus menjaga psikologis, menjaga perasaan dari para korban, agar mereka diberi ruang untuk menjaga kehormatan mereka," kata Lalu Hadrian pada Senin (16/6/2025) di Gedung Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Lalu Hadrian juga akan memanggil Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk membahas polemik penulisan ulang sejarah ini, termasuk pernyataannya yang menihilkan peristiwa pemerkosaan Mei 1998. "Nanti setelah masuk reses, kami akan mengundang rapat kerja Menteri Kebudayaan sekaligus membahas tentang itu," ujarnya.
Mengenai penyebutan kata "massal" yang dipermasalahkan Fadli Zon, Lalu Hadrian berpendapat perlu mendengar masukan dari ahli bahasa terlebih dahulu. Menurutnya, untuk menggunakan kata "massal", suatu kasus setidaknya harus terjadi lebih dari sepuluh kali dan di berbagai daerah secara bersamaan, sehingga perlu diverifikasi lebih lanjut.
"Ini perlu kita cek di seluruh Indonesia karena kita tahu tragedi 98 itu adalah tragedi kemanusiaan," kata Lalu Hadrian.
Sebelumnya, Menteri Fadli Zon meragukan kebenaran peristiwa pemerkosaan massal 1998, menilai penggunaan kata "massal" kurang tepat karena kurangnya bukti kuat mengenai skala kejadian.
"Demikian laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) ketika itu, mereka hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid, baik nama, waktu, tempat kejadian, dan pelaku," kata Fadli melalui keterangan tertulis pada Senin, 16 Juni 2025.
Pernyataan Fadli Zon yang sebelumnya menyebut pemerkosaan massal 1998 sebatas rumor belaka telah menuai kecaman dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan warganet.
"Pernyataan Fadli Zon menunjukkan sikap nirempati terhadap korban dan seluruh perempuan yang berjuang bersama korban," kata Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Ita F. Nadia, dalam Konferensi Pers Masyarakat Sipil Melawan Impunitas melalui Zoom Meeting pada Jumat, 13 Juni 2025.
Sementara itu, Direktur Amnesty International, Usman Hamid, menilai pernyataan tersebut sebagai pembelaan diri atas masa lalu kelam pemerintahan saat ini, menuding upaya menghindari rasa bersalah dan malu.
Editor : Aris