Berhubungan Badan Suami Istri Pembatal Puasa dan Dosa, Bagaimana Jika Cumbu Rayu Saja?

Beberapa Permasalahan:
Pertama: Jauhilah Dosa Besar Ini
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa membatalkan puasa dengan berhubungan suami istri secara sengaja adalah dosa besar yang membinasakan.[2]
melansir lama sofyanruray info dijelaskan Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim rahimahullah berkata,
وَالْغِذَاءُ يَبْسُطُ الدَّمَ الَّذِي هُوَ مَجَارِيهِ فَإِذَا أَكَلَ أَوْ شَرِبَ انْبَسَطَتْ نَفْسُهُ إلَى الشَّهَوَاتِ وَضَعُفَتْ إرَادَتُهَا وَمَحَبَّتُهَا لِلْعِبَادَاتِ فَهَذَا الْمَعْنَى فِي الْجِمَاعِ أَبْلَغُ فَإِنَّهُ يَبْسُطُ إرَادَةَ النَّفْسِ لِلشَّهَوَاتِ وَيُضْعِفُ إرَادَتَهَا عَنْ الْعِبَادَاتِ أَعْظَمَ؛ بَلْ الْجِمَاعُ هُوَ غَايَةُ الشَّهَوَاتِ وَشَهْوَتُهُ أَعْظَمُ مِنْ شَهْوَةِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَلِهَذَا أَوْجَبَ عَلَى الْمُجَامِعِ كَفَّارَةَ الظِّهَارِ فَوَجَبَ عَلَيْهِ الْعِتْقُ أَوْ مَا يَقُومُ مَقَامَهُ بِالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ لِأَنَّ هَذَا أَغْلَظُ وَدَاعِيَهُ أَقْوَى وَالْمَفْسَدَةَ بِهِ أَشَدُّ
“Makanan dan minuman dapat meluaskan peredaran jalan darah (bagi setan), maka apabila seseorang makan atau minum menguatlah kecenderungan nafsunya kepada syahwat dan melemah keinginan dan kecintaannya terhadap ibadah, dan makna ini lebih besar pada jima’, sungguh jima’ lebih menguatkan keinginan nafsu kepada syahwat dan melemahkan keinginannya terhadap ibadah.
Foto: Freepik
Bahkan jima’ adalah puncak syahwat, dan syahwat terhadapnya lebih besar daripada syahwat terhadap makanan dan minuman, oleh karena itu diwajibkan atas orang yang berjima’ membayar kaffaroh zhihar, yaitu wajib atasnya membebaskan budak atau yang dapat menggantikan kedudukannya (yaitu hukuman yang setara dengannya) berdasarkan As-Sunnah dan ijma’, karena ia lebih besar dosanya, faktor pendorongnya lebih kuat dan kerusakannya lebih dahsyat.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/249]
Kedua: Solusi bagi Orang yang Berbuat Dosa Ini
1) Bertaubat kepada Allah ta’ala.
2) Membayar kaffaroh (denda).
Ketiga: Urutan Kaffaroh
1) Membebaskan seorang budak yang beriman.
2) Apabila tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, tidak boleh terputus tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, seperti karena sakit, safar atau haid dan nifas bagi wanita.
3) Apabila tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin, setiap satu orang miskin mendapatkan satu sho’ (kurang lebih senilai 1,5 kg) bahan makanan berdasarkan hadits Ka’ab bin ‘Ujroh radhiyallahu’anhu.[3]
Dan tidak boleh diuangkan, tidak boleh pula hanya diberikan kepada satu orang miskin atau kurang dari 60 orang, serta tidak boleh dititipkan kepada orang atau lembaga yang tidak terpercaya.[4]
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta