Eko Djasa mengungkapkan kliennya menjadi korban mafia tanah bermula dari perjanjian jual-beli tanah yang saat itu masih berstatus girik antara SP kepada MS dengan metode pembayaran tiga termin selama satu tahun.
Namun, selama kurun waktu itu MS tidak pernah melakukan pembayaran, tapi saat perjanjian berlangsung MS pada sekitar 2019, dia sudah meminta ijin pembersihan lokasi dan pengkavlingan, penataan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) dari SP.
Tindakannya dilanjutkan dengan melakukan penjualan di bawah tangan kepada beberapa konsumen.
“Ini berlangsung terus hingga 2022 mencapai sekitar 26 konsumen dengan estimasi harga yang telah dibayarkan ke MS sebanyak Rp7,8 miliar,” ujarnya.
Editor : Mochamad Ade Maulidin
Artikel Terkait