JAKARTA, iNewsTangsel.id - Sengketa lahan di Cikini kembali menjadi sorotan dengan tudingan keterlibatan mafia tanah yang diduga mempengaruhi proses hukum di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Eksekusi sepihak terhadap lahan dan bangunan di Jalan Kali Pasir No. 16, milik PT Mitra Mata, mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk pemilik sah dan warga yang terlibat.
Masalah ini bermula ketika PT Mitra Mata mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait blokir lahan oleh Bank Mandiri. PT Mitra Mata memenangkan gugatan ini, namun saat proses banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru memberikan hak atas tanah di Jalan Cikini Raya kepada Bank Mandiri tanpa melalui prosedur hukum yang benar. Putusan ini tidak melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam pengukuran tanah dan tidak dilakukan pemeriksaan setempat (descente) sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2001.
Suryantara, kuasa hukum PT Mitra Mata, menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dianggap cacat hukum. "Lahan ex-Eigendom No. 408 yang menjadi dasar putusan sudah tidak berlaku menurut BPN, namun eksekusi tetap dilakukan," kata Suryantara. Ia juga menambahkan bahwa putusan ini melenceng dari objek perkara yang sebenarnya, sehingga sangat merugikan PT Mitra Mata sebagai pemilik sah lahan tersebut.
Situasi semakin memanas saat eksekusi paksa dilakukan. Warga yang mempertahankan hak mereka atas lahan tersebut bentrok dengan aparat keamanan. Gas air mata digunakan untuk membubarkan massa, dan beberapa warga ditangkap dengan tuduhan melawan petugas dan mengganggu ketertiban umum. Banyak pihak, termasuk warga Cikini, mengecam tindakan aparat yang dinilai tidak sesuai dengan prosedur hukum.
Saleh Alwani, pemilik Rumah Kos Binawan 2 yang berada di lahan yang sama, juga mempertanyakan dasar hukum eksekusi ini. "Kami memiliki sertifikat dari RI, tetapi dihapus hanya karena eigendom zaman Belanda yang sudah tidak berlaku sejak tahun 1950-an. Keputusan ini tidak masuk akal," kata Saleh dengan nada kecewa.
Saleh menduga adanya mafia tanah yang bekerja sama dengan oknum di pengadilan untuk memenangkan sengketa lahan tersebut, dengan memanfaatkan bank sebagai alat untuk merampas hak sah warga. "Hak kami jelas dengan HGB, IMB, dan SK dari BPN, tetapi semuanya diabaikan oleh pengadilan yang memenangkan hak yang sudah tidak berlaku," tambah Saleh.
Pihak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melalui Juru Sita Asmawan, menegaskan bahwa eksekusi dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. "Kami hanya melaksanakan tugas sesuai perintah pengadilan," katanya,.Rabu (11/9/2024).
Kasus ini menambah daftar panjang praktik mafia tanah yang semakin meresahkan. Banyak pihak mendesak Kementerian BUMN dan pemerintah untuk bertindak tegas dalam menangani masalah ini, mengingat Bank Mandiri sebagai BUMN juga terseret dalam kontroversi ini. Harapannya, proses hukum yang lebih adil dan transparan dapat ditegakkan demi melindungi hak-hak masyarakat yang sah.
Editor : Hasiholan Siahaan