“Apalagi penggunaan diksi seperti "penggerebekan", memperjelas bahwa tindakan ini dilakukan dalam kerangka penegakan hukum, yang bukan merupakan tugas utama TNI,” tambahnya.
Ia pun menyarankan, keterlibatan TNI dalam tugas seperti ini (penggerebekan) seharusnya dengan dasar hukum yang jelas dan perintah langsung dari Panglima TNI dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU TNI. Ia pun meragukan dalam dua kasus tersebut, apalagi tidak ada informasi yang menunjukkan bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari OMSP yang disetujui oleh Panglima TNI, atau pun berdasarkan permintaan resmi dari pihak berwenang.
“Jika benar tidak ada perintah dari Panglima TNI, maka ini menunjukkan adanya inisiatif dari satuan teritorial (Kodim/Kodam) tanpa mekanisme perbantuan yang seharusnya. Hal ini bisa berbahaya,” tandasnya.
Ia membeberkan alasan tugas yang dilakukan dalam dua kasus itu bisa berbahaya. Pertama, mengaburkan peran antara pertahanan dan keamanan dalam negeri, yang seharusnya dipisahkan pasca-reformasi. Kedua, berpotensi melanggar supremasi sipil, karena TNI bertindak dalam ranah hukum yang menjadi wewenang otoritas sipil.
Ketiga, bisa berdampak hukum, karena tindakan yang dilakukan di luar prosedur yang sah dapat berujung pada pembatalan proses hukum di pengadilan. Oleh karena itu keterlibatan aparat TNI dalam dua masalah tersebut, jika dilakukan tanpa mekanisme perbantuan yang benar, maka melampaui kewenangannya sebagaimana diatur dalam UU TNI No. 34 Tahun 2004.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait