Menurut dia, lemahnya implementasi undang-undang perlindungan perempuan menjadi akar dari terus terjadinya kekerasan seksual.
Selain itu, banyak aparat penegak hukum juga belum sepenuhnya menjalankan peraturan yang telah ada, termasuk menyampaikan ancaman hukuman secara terbuka kepada publik. Sehingga banyak pelanggaran yang diselesaikan dengan cara damai atau negosiasi keluarga.
“Ini justru mengkhianati perjuangan korban dan melemahkan rasa keadilan. Kita tidak bisa lagi menoleransi kekerasan seksual dengan hukuman ringan atau negosiasi uang. Harus dihukum seberat-beratnya. Kita sudah darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak. Apalagi jika pelakunya berasal dari institusi pendidikan, bahkan yang sedang menempuh pendidikan profesi. Ini sangat mencoreng dunia pendidikan kita," tegas Giwo.
Menurut Giwo, kasus ini hanya satu dari “gunung es” kekerasan seksual di Indonesia. Untuk itu, pentingnya pendidikan karakter sejak dini di lingkungan keluarga, serta evaluasi terhadap sistem pengawasan internal di institusi pendidikan dan pelayanan publik.
Mengingat, kekerasan terhadap perempuan, terutama di institusi pendidikan, bisa berdampak jangka panjang secara psikologis, sosial, bahkan akademik.
"Jangan tunggu viral, baru bertindak.
Masyarakat juga harus bersikap aktif. Kalau melihat kejahatan dan diam saja, kita juga bisa dikenai sanksi hukum. Ini bukan hanya tanggung jawab aparat, tapi seluruh elemen bangsa. Negara dan masyarakat harus bersama-sama melindungi perempuan dan anak. Ini soal masa depan bangsa,” imbuhnya.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait