Pada kesempatan ini, Giwo juga menyinggung soal kurangnya empati dan perhatian terhadap korban. Karena korban harus mendapat pendampingan psikologis yang intens, sementara pelaku harus dihukum seberat-beratnya tanpa kompromi.
Untuk itu, praktik negosiasi antara pelaku dan keluarga korban yang kerap terjadi harus dihentikan karena hanya akan membuka ruang pembiaran.
Giwo mengungkapkan bahwa kalau di negara lain, hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual sangat berat. Itu membuat masyarakat jera. Indonesia juga harusnya seperti itu. Bukan malah membiarkan pelaku mendapat pengurangan hukuman sehingga tidak hadirkan efek jera.
"Masyarakat juga punya peran penting dalam mengawasi jalannya proses hukum agar tidak berhenti di tengah jalan. Terlebih, banyak korban di pedesaan atau daerah terpencil yang tak punya akses atau keberanian bersuara,” pungkas Giwo.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait