Unggahan ini menuai berbagai reaksi dari warganet. Banyak yang memberi dukungan moral dan menyemangati pilihan hidup wanita tersebut.
“Jadi guru itu bukan soal gengsi. Kalau dengan jadi pembantu bisa hidup lebih layak, nggak masalah kok. Semua pekerjaan itu mulia selama dijalani dengan ikhlas,” komentar akun @nou***.
Namun, tak sedikit pula yang menyoroti masalah sistemik terkait pendidikan dan kesejahteraan guru honorer di Indonesia.
“Tolong hentikan normalisasi kata ‘mengabdi’ dan ‘sabar’. Guru honorer juga manusia, mereka butuh hidup layak. Jangan terus-terusan dikasih semangat kosong. Pemerintah harusnya hadir dan memperjuangkan kesejahteraan guru, bukan menjadikan loyalitas sebagai alasan untuk bayar murah,” tulis akun @int***.
Seorang netizen lain bahkan membagikan pengalaman serupa dalam keluarganya:
“Adekku malah digaji Rp500 ribu, dan itu pun cairnya tiga bulan sekali,” ungkap akun @tin***.
Kisah ini kembali memunculkan diskusi publik tentang rendahnya penghargaan terhadap profesi guru honorer di Indonesia. Meskipun sering disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, kenyataannya masih banyak guru yang harus mencari pekerjaan tambahan, atau bahkan beralih profesi, demi memenuhi kebutuhan hidup.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait