JAKARTA, iNewsTangsel.id - Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santosa, menegaskan bahwa tidak ada seorang pun di Indonesia yang kebal hukum, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diduga terlibat tindak pidana korupsi atau gratifikasi.
"Anggota DPR memang memiliki imunitas terkait pernyataan atau tindakan yang dilakukan dalam tugas sehari-hari sebagai wakil rakyat. Namun, imunitas ini tidak berlaku untuk dugaan tindak pidana korupsi, seperti gratifikasi, termasuk menerima fasilitas tertentu untuk kepentingan pribadi," ujar Sugeng di Jakarta, Rabu (18/12/2024).
Pernyataan ini disampaikan menanggapi laporan terhadap anggota DPR RI, Dedy Sitorus, oleh Lembaga Studi dan Advokasi Anti Korupsi (LSAK) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kortas Tipikor Polri. Dedy diduga menerima gratifikasi saat kampanye Pileg 2023. Sugeng menyebut laporan ini sebagai ujian bagi KPK dan Kortas Tipikor Polri dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Saya berharap laporan ini ditangani secara profesional dan proporsional, serta memberikan kesempatan kepada Dedy Sitorus untuk membela diri," tegasnya.
Menurut Sugeng, laporan tersebut harus tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. "IPW mendorong penegakan hukum tanpa pandang bulu dan berharap proses hukum berjalan sesuai aturan," ujarnya.
Namun, Sugeng juga tidak menutup kemungkinan bahwa laporan ini bisa menjadi upaya untuk membungkam sikap kritis Dedy terhadap institusi tertentu. Kendati demikian, jika dugaan gratifikasi terbukti dan tidak dilaporkan ke KPK dalam waktu 30 hari, hal itu dapat menjadi tindak pidana.
Dedy Sitorus, anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, dilaporkan oleh LSAK pada Selasa (17/12/2024). Ketua LSAK, Hariri, menyebut bahwa dugaan gratifikasi ini melibatkan penyewaan helikopter jenis EC130T2 milik PT. SCA melalui PT. MBA sebanyak delapan kali selama masa kampanye, yakni dari 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.
"Helikopter ini digunakan untuk memudahkan akses ke lokasi kampanye. Penyewaan ini diduga dibiayai oleh dua pengusaha muda asal Ternate berinisial GSF dan TJF, pemilik CV. SA," jelas Hariri.
Menurutnya, biaya penyewaan helikopter yang mencapai USD 192.000 atau sekitar Rp3,07 miliar ini memungkinkan Dedy Sitorus mendulang suara hingga 59.333, mengalahkan pesaingnya, seperti Hasan Saleh (Partai Demokrat) dan Immanuel Ebenez.
Hariri menambahkan bahwa dugaan ini mencuat karena kebiasaan Dedy memamerkan gaya hidup mewah di media sosial. Salah satu unggahannya di TikTok menunjukkan dirinya menggunakan helikopter tersebut selama kampanye.
Hingga saat ini, Dedy Sitorus belum memberikan pernyataan resmi terkait laporan ini. Pesan konfirmasi yang dikirim melalui WhatsApp juga belum mendapat balasan, meskipun sudah terbaca.
LSAK melaporkan dugaan ini berdasarkan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kasus ini kini menjadi perhatian publik, sekaligus ujian kredibilitas bagi KPK dan Kortas Tipikor Polri.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait