Kasus DJM Telkom, Ancaman Kriminalisasi bagi Direksi BUMN dan Mitra Swasta

Aris
Direksi BUMN dan mitra swasta kerap kali menghadapi ancaman kriminalisasi meskipun keputusan mereka sudah sesuai dengan prinsip BJR.

JAKARTA, iNewsTangsel.id - Penerapan Business Judgement Rules (BJR) di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam praktik hukum yang berkaitan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Meskipun BJR bertujuan untuk melindungi keputusan direksi BUMN yang dibuat dengan itikad baik, kehati-hatian, dan sesuai aturan, realitasnya seringkali berbanding terbalik. Direksi BUMN dan mitra swasta kerap kali menghadapi ancaman kriminalisasi meskipun keputusan mereka sudah sesuai dengan prinsip BJR. Oleh karena itu, Presiden Prabowo diminta untuk membenahi sistem penegakan hukum di sektor BUMN agar tidak terjadi ketidakadilan.

Salah satu contoh nyata adalah kasus yang melibatkan Alex Denni, mantan Deputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), yang menjadi korban kriminalisasi dalam proyek Distinct Job Manual (DJM) di PT Telkom Indonesia Tbk pada tahun 2003. Meski fakta persidangan menunjukkan bahwa keputusan dalam proyek tersebut sudah sesuai dengan prinsip BJR, Alex Denni, yang berperan sebagai konsultan swasta, tetap dinyatakan bersalah.

Menurut Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani, BJR adalah prinsip hukum yang dirancang untuk melindungi direksi dalam mengambil keputusan bisnis yang berisiko, selama keputusan tersebut tidak melanggar hukum, tidak ada benturan kepentingan, dan dilakukan dengan itikad baik. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) No. 40 Tahun 2007. 

“Bertolak dari doktrin Business Judgment Rules, seorang direksi tidak dapat dipersalahkan atas keputusan bisnisnya sepanjang keputusan itu tidak ada unsur kecurangan, tidak ada benturan kepentingan, tidak ada perbuatan melawan hukum, dan tidak ada konsep kesalahan yang disengaja,” ujar Julius dalam keterangan resmi, pada Jumat (27/12/2024).

Dalam kasus DJM, meski Direktur SDM Bisnis Pendukung Telkom, Agus Utoyo, dan Asisten Kebijakan SDM Telkom, Tengku Hedi Safinah, pada akhirnya dibebaskan dari tuduhan korupsi, keputusan tersebut tidak berlaku sama bagi Alex Denni. Pengadilan Tinggi Bandung mengungkapkan bahwa proses penunjukan PT Parardhya Mitra Karti (PMK) sebagai konsultan untuk proyek DJM adalah sah karena proyek tersebut sangat dibutuhkan dan mendesak. Tidak ada bukti bahwa proses tersebut menguntungkan pihak pribadi atau melanggar hukum.

Namun, meskipun keputusan tersebut sesuai dengan prinsip BJR, Alex Denni yang terlibat sebagai mitra swasta dalam proyek tersebut tetap dinyatakan bersalah. Hal ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam penerapan hukum terhadap kasus yang serupa, yang berpotensi menciptakan ancaman kriminalisasi terhadap direksi BUMN dan mitra swasta lainnya.

Julius Ibrani menegaskan bahwa keputusan PT Telkom untuk menunjuk PT PMK sebagai konsultan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga tidak melanggar prinsip-prinsip yang ada dalam UU PT. Proses pengadaan dilakukan dengan itikad baik dan tanpa ada benturan kepentingan. Oleh karena itu, menurut Julius, keputusan tersebut seharusnya dilindungi oleh hukum, bukan malah dijadikan dasar untuk kriminalisasi.

Menurutnya, sistem penegakan hukum yang tidak jelas dalam kasus-kasus semacam ini hanya akan menciptakan ketidakpastian bagi pimpinan perusahaan, terutama di sektor BUMN, yang hendak berinovasi dan mengambil keputusan penting untuk kemajuan perusahaan. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintahan Presiden Prabowo untuk melakukan pembenahan terhadap sistem hukum yang menangani kasus-kasus BUMN.

Meskipun Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah telah dinyatakan bebas, Alex Denni tetap harus menjalani pidana penjara selama satu tahun. Disparitas putusan ini mencerminkan adanya ketidaksinkronan dalam penerapan hukum terhadap kasus yang serupa. Menurut Abdul Fickar Hadjar, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, perbedaan putusan ini menunjukkan adanya kekhilafan hakim dalam menghargai alat bukti yang sama, yang akhirnya memunculkan ketidakadilan.

Untuk itu, pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) oleh Alex Denni harus dilihat bukan hanya sebagai upaya pencarian keadilan semata, tetapi juga sebagai titik tolak bagi perbaikan struktural dan sistemik di Mahkamah Agung. Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa proses hukum dapat dijalankan dengan objektivitas dan tanpa adanya bias, khususnya dalam menangani perkara yang melibatkan BUMN dan mitra swasta.

Demi mendorong iklim bisnis yang lebih sehat dan inovatif di Indonesia, perlu ada jaminan perlindungan hukum terhadap keputusan bisnis yang diambil oleh direksi BUMN. Tanpa perlindungan yang memadai, perusahaan-perusahaan negara dan mitra swastanya akan terhambat dalam menjalankan kebijakan yang dapat mempercepat kemajuan ekonomi. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan sistem hukum Indonesia untuk segera melakukan pembenahan agar tidak ada lagi kriminalisasi terhadap keputusan bisnis yang sah dan dilakukan dengan itikad baik.

Editor : Aris

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network