PAMULANG, iNewsTangsel.id - Di tengah pesatnya pembangunan kawasan penyangga Jakarta, satu sisi kehidupan malam perlahan muncul ke permukaan. Kawasan Gaplek di Pamulang, Tangerang Selatan, yang dulunya hanya dikenal sebagai simpul lalu lintas dan persimpangan padat, kini berubah citra menjadi ruang gelap yang ramai menjelang malam.
Di balik deretan ruko, jembatan layang Tol Pamulang–Cinere yang menjulang, dan warung kopi yang buka 24 jam, muncul geliat aktivitas malam yang tak kasat mata di siang hari. Begitu matahari tenggelam, kawasan ini berubah rupa—muncul perempuan-perempuan muda yang menanti pelanggan, mobil dan motor yang berhenti di titik-titik tertentu, serta percakapan singkat yang menyimpan makna tersirat.
“Kalau siang aman, kayak kawasan biasa aja. Tapi malam beda. Ada aja yang nawarin, dari cewek-cewek yang lewat naik motor,” kata Redy (29), seorang ojek online yang kerap mangkal di sekitar jembatan tol Gaplek, Selasa (1/7/2025).
Beberapa ruko berubah fungsi secara diam-diam. Di balik pintu yang tertutup, berlangsung interaksi transaksional yang tak banyak diketahui publik luas, namun bukan pula rahasia bagi warga sekitar.
Mawar (21), salah satu perempuan yang ditemui tim iNewsTangsel, mengaku terbuka soal aktivitasnya. Ia berasal dari luar kota dan memilih menjajakan diri di kawasan Gaplek karena, menurutnya, pasarnya jelas dan relatif aman.
“Biasanya Rp 200 ribu, langsung main di belakang ruko. Kalau dibawa ke hotel, harga tetap tapi kamar tanggung sendiri,” ungkapnya tanpa canggung. Ia juga tak menampik melayani lebih dari satu pelanggan dalam sekali waktu, tergantung permintaan dan imbalan.
Fenomena ini mencerminkan sisi lain dari kehidupan kelas menengah urban—mereka yang tampak mapan di siang hari, namun mencari pelarian di malam hari. Mobil pribadi, pakaian rapi, dan status pekerjaan tak selalu sejalan dengan kehidupan moral yang ingin dijaga.
“Yang datang bukan orang sembarangan, ada yang pakai mobil bagus, kelihatan pegawai kantoran,” tambah Redy.
Gaplek bukan kawasan lokalisasi resmi. Tapi keberadaan praktik prostitusi terselubung ini sudah menjadi perhatian masyarakat sekitar dan aparat setempat. Razia sesekali dilakukan, namun dampaknya cenderung sementara. Kegiatan berpindah-pindah, mengikuti alur permintaan dan celah pengawasan.
“Biasanya digerebek, tapi seminggu dua minggu balik lagi. Udah kayak lingkaran aja,” ujar seorang warga yang menolak namanya disebut.
Dilema pun muncul. Di satu sisi ada keinginan menjaga norma dan keamanan lingkungan, tapi di sisi lain ada realita ekonomi dan sosial yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Gaplek kini berdiri sebagai simbol ambiguitas kota penyangga: tempat di mana pembangunan infrastruktur dan modernitas melesat, namun kesiapan sosial, regulasi, dan pengawasan tak selalu mampu mengimbanginya.
Selama tak ada kebijakan yang menyentuh akar persoalan—baik dari sisi hukum maupun pendekatan sosial—kawasan seperti Gaplek akan terus menjadi magnet yang menyatukan kebutuhan, kepentingan, dan pembiaran dalam satu ruang malam yang tak pernah benar-benar padam.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait