JAKARTA, iNews.id - Perhimpunan Pejuang Anak Indonesia bersama Putri Maya Rumanti dari Tim Hotman 911, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), serta Erlinda dari Kantor Staf Presiden bersatu untuk menegaskan pentingnya keadilan dan kepastian hukum bagi ibu-ibu Indonesia yang terpisah dari anak-anak mereka.
Beberapa perwakilan orang tua yang memiliki hak asuh anak secara resmi berkumpul, namun hak mereka untuk bersama anak-anak masih belum dipenuhi oleh negara. Anak-anak mereka dibawa pergi dan disembunyikan oleh salah satu orang tua, bahkan seringkali komunikasi antara ibu dan anak diputuskan.
"Inilah kisah para ibu yang hadir hari ini. Ada yang anaknya dibawa keluar Indonesia dengan dokumen yang dipertanyakan keabsahannya, ada yang membuka jalur komunikasi namun anaknya diambil secara paksa tidak hanya sekali. Ada ibu yang hidup dalam ketakutan tidak bisa bersama anaknya, meskipun hak asuh ada padanya," ujar Shelvia, yang kisahnya sempat viral pada awal 2023, ketika aksesnya untuk menyusui anaknya diputus paksa oleh ayahnya.
"Ada kasus-kasus yang jelas merupakan tindak pidana kekerasan atau KDRT namun tidak diproses atau ditahan, ada yang menghalangi anak untuk mendapatkan ASI. Di mana tanggung jawab negara dalam memberikan keadilan bagi orang tua? Sedangkan korban semakin bertambah. Kami ingin mengedukasi para orang tua, baik ibu maupun ayah, untuk tidak melakukan hal ini karena tidak hanya menimbulkan trauma dan masalah mental bagi orang tua yang ditinggalkan, tetapi juga akan merusak psikis anak," tambahnya.
Shelvia menambahkan, "Bagaimana negara bisa menciptakan generasi berkualitas jika dasar keluarga, yaitu keluarga, sudah mengalami pemisahan seperti ini? Saya sebagai ibu, bersama dengan ibu lainnya, tidak bisa menjalankan peran saya dengan baik untuk merawat dan memastikan perkembangan anak-anak."
Putri Maya Rumanti, S.H., M.H., memberikan tanggapannya sebagai seorang ibu dan praktisi hukum terhadap kondisi hukum saat ini. Ia meminta Presiden Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk melihat ketidakadilan yang menimpa banyak wanita Indonesia.
"Inilah hukum kita. Pasal 330 dianggap sebelah mata di kepolisian. Mereka mengatakan tidak bisa diterapkan karena ayah yang mengambil anak. Dari mana asal penafsiran ini? Di mana pasal yang menyatakan bahwa ayah atau ibu dikecualikan dari Pasal 330? Saya memohon kepada Presiden dan Kepala Kepolisian RI untuk memberikan perhatian kepada semua laporan KDRT, kekerasan seksual, penculikan anak seperti ini. Agar bisa memberikan keadilan bagi ibu-ibu yang juga berhak atas anak-anak mereka. Pemerintah harus membuka mata," kata Putri Maya Rumanti, SH, MH, yang mewakili Tim Hotman 911.
Putri M Rumanti menyayangkan penerapan yang ambigu dari Pasal 330 KUHP di kepolisian terkait dengan kasus penculikan anak secara paksa yang berpotensi mengakibatkan laporan polisi lainnya terhadap tindakan kriminal lain atau bahkan kriminalisasi.
"Sebagai contoh, seorang ibu pergi ke pasar untuk mengambil anaknya, terjadi keributan, dan akhirnya terjadi KDRT. Ibunya dilaporkan seolah-olah melakukan KDRT atau menciptakan keributan, padahal dia hanya ingin memeluk anaknya. Hal ini sering terjadi. Namun tidak ada keadilan bagi kami, para wanita. Saya bicara atas perasaan seorang ibu yang ingin merawat anaknya namun diambil secara paksa. Di mana keberadaan ibu yang bisa memastikan anak-anak mendapat pendidikan dan perhatian yang baik. Ketika anak-anak diasuh oleh satu orang tua yang tidak berkomunikasi baik dengan orang tua lainnya (ibu), maka anak mungkin akan membenci ibunya, merasa bahwa ibunya tidak peduli padanya," jelasnya.
"Laporan KDRT sering dianggap sepele, dianggap masalah rumah tangga. Namun, tidak dilihat efeknya terhadap anak yang langsung mengalaminya. Anak akan mengalami trauma, tidak nyaman, dan rendah diri di sekolah," tambah Putri menjelaskan dampak pemisahan ibu dan anak berdasarkan banyak pengaduan.
Dalam kesempatan yang sama, Aelyn Halim, Mantan Putri Favorit Indonesia 2010, juga menyoroti ketidakadilan dan kepastian hukum yang dirasakan akibat tindakan pengeroyokan yang diduga dilakukan oleh mantan suami dan keluarganya. Aelyn berharap penyidik Polda Metro Jaya dapat bergerak untuk menetapkan status P21. Selain itu, ia juga terpisah dari anaknya selama 4 tahun meskipun hak asuh berada pada dirinya.
Hadir juga perwakilan dari Deputi Pemenuhan Hak Anak, KemenPPPA, yang membantu dan memantau perkembangan kasus-kasus perebutan hak asuh anak. Sesuai dengan tugasnya sebagai koordinator, KemenPPPA telah berkoordinasi dengan berbagai kementerian untuk penyelesaian kasus-kasus perebutan hak asuh anak yang mengabaikan keputusan hak asuh resmi.
"Kasus-kasus ibu ini telah masuk ke dalam layanan kami, yaitu SAPA 129. Kami telah memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan, misalnya kami telah mendampingi kasus Ibu Nur di Solo," ungkap perwakilan dari Deputi Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
"Kami tetap mendampingi kasus-kasus orang tua yang kehilangan anak mereka. Kami juga menyediakan pendampingan psikologis bagi anak dan orang tua yang ditinggalkan," tambah Permina Sianturi, perwakilan deputi khusus pemenuhan hak anak, KemenPPPA.
Erlinda, sebagai seorang pemerhati perempuan dan anak serta perwakilan dari Kantor Staf Presiden, berpendapat bahwa negara telah hadir melalui Mahkamah Agung dengan PERMA.
"Negara telah hadir melalui Mahkamah Agung. Kita tahu bahwa Perma sudah ada. Namun, optimalisasi dari penegakan hukum, terutama Mahkamah Agung, masih belum optimal. Mereka (Mahkamah Agung) memiliki SOP sehingga kementerian, lembaga, atau yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, ketika hak asuh anak sudah jatuh pada satu orang tua, hal tersebut seharusnya dijalankan dengan benar," katanya.
"Kami sangat prihatin karena seorang ibu membawa anaknya selama 9 bulan dan terjalin ikatan batin. Kita harus memikirkan masa depan anak-anak yang menderita dan membutuhkan kehadiran seorang ibu yang melahirkan mereka. Ini berbahaya bagi perkembangan anak. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa lebih dari 60% anak-anak yang tumbuh dalam konflik orang tua mengalami gangguan mental atau psikis," tambah Erlinda.
"Ini seperti gunung es. Dalam laporan kami, lebih dari 1000 perempuan berharap bertemu dengan anak-anak mereka. Ini hanya data dari yang berani bersuara, sementara banyak lagi yang belum berani," papar Erlinda.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta