JAKARTA, iNewsTangsel.id - Indonesia Police Watch (IPW) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan dugaan korupsi terkait Pemotongan Honorarium Penanganan Perkara (HPP) Hakim Agung (MA) dan/atau Gratifikasi serta Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Mahkamah Agung RI pada Tahun Anggaran 2022-2023-2024 senilai Rp. 97 miliar ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (2/10/2024).
Kasus ini diduga melanggar Pasal 12 huruf E dan F juncto Pasal 18 UU RI No. 20 Tahun 2021 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999, serta Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Nomor 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, juncto Pasal 3 dan 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Kasus dugaan korupsi senilai puluhan miliar yang diduga dilakukan oleh petinggi Mahkamah Agung ini sangat bertentangan dengan kondisi hakim di daerah-daerah yang pekan depan akan melakukan mogok kerja," ujar Sugeng Teguh Santoso, SH, Ketua IPW, didampingi Petrus Selestinus, Koordinator TPDI, di Gedung Merah Putih KPK usai melapor.
Menurutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan No. 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, Hakim Agung berhak menerima HPP yang tercantum dalam Nota Dinas Panitera, atas penyelesaian perkara Kasasi/PK paling lambat 90 hari sejak perkara diterima oleh unit penerima surat Ketua Majelis sampai perkara dikirim ke pengadilan pengaju.
"Namun ternyata tanpa dasar hukum, sejak tahun 2022 hingga 2024, terjadi pemotongan HPP. Pada tahun 2022, pembayaran HPP dilakukan dengan penyerahan uang tunai dan tanda terima dalam dua bentuk, yaitu bukti tanda terima Hakim Agung yang 100% dan tanda terima Hakim Agung yang HPP-nya telah dipotong," tambahnya.
Ditegaskan bahwa pemotongan HPP tersebut dicoba untuk diberi "legitimasi" berdasarkan Peraturan Sekretaris Mahkamah Agung, termasuk Surat Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung RI No: 649/SEK/SK.KU1.1.3/VIII/2023 tanggal 23 Agustus 2023 tentang Perubahan Atas Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung No: 12/SEK/SK/II/2023 tentang Standar Biaya Honorarium Penanganan Perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali Bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung Tahun Anggaran 2023, dan Nota Dinas Panitera MA No.1808/PAN/HK.00/9/2023 tentang Pemberitahuan Alokasi Honorarium Penanganan Perkara (HPP) tahun 2023, tanggal 12 September 2023.
Tata cara pembagian dan/atau penyerahan dana HPP atas penanganan perkara yang selesai paling lama 90 hari dimulai dengan Kepaniteraan Mahkamah Agung RI, yang diwakili oleh Asep Nursobah sebagai Penanggung Jawab HPP (Kuasa Pengguna Anggaran), menyiapkan laporan majelis yang menyelesaikan perkara tersebut dalam 90 hari. Selanjutnya, Asep Nursobah mengajukan permintaan pembayaran, dan Bank Syariah Indonesia (BSI) yang bertugas membayar kemudian mengirimkan uang ke rekening masing-masing Hakim Agung yang berhak.
Pada hari yang sama, Bank BSI secara otomatis memotong dana HPP sebesar 25,95% dari rekening Hakim Agung (di luar pemotongan untuk supervisor sebesar 7% dan 4% untuk tim pendukung administrasi yudisial), yang awalnya dilakukan tanpa persetujuan tertulis atau lisan dari Hakim Agung, dan dana tersebut dikumpulkan di rekening penampungan yang dikelola oleh Asep Nursobah. Diduga dana ini digunakan oleh oknum Pimpinan Mahkamah Agung RI, dengan dalih untuk "tim pendukung teknis yudisial", yang ternyata digunakan untuk kepentingan pribadi dan merugikan Hakim Agung yang berhak.
Sugeng Teguh Santoso, SH, menyatakan bahwa adanya pemotongan HPP tersebut justru terkonfirmasi kebenarannya, berdasarkan penjelasan juru bicara Mahkamah Agung RI, Suharto, kepada Tempo.co pada Senin (12/8/2024) dan dalam Konferensi Pers di Yogyakarta (17/9/2024). Menurut Suharto, (1) terdapat sembilan proses untuk menyelesaikan sebuah perkara di MA yang melibatkan staf lainnya selain Hakim Agung, (2) Pimpinan Mahkamah menyepakati bahwa sebagian dana HHP, sebanyak 40%, didistribusikan kepada unit pendukung yang terdiri dari supervisor, tim pendukung teknis, dan manajemen, sebagaimana tercantum dalam Keputusan Panitera Mahkamah Agung Nomor: 2349/PAN/HK.00/XII/2023, (3) Tidak ada pemotongan HPP secara paksa dengan intervensi pimpinan MA, dan (4) pernyataan IPW mengenai tindak pidana korupsi berupa pemotongan HPP senilai Rp. 97 miliar dianggap tidak benar karena didasarkan pada informasi yang keliru.
Pemotongan dana HPP sebesar 25,95% dari rekening Hakim Agung, yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis atau lisan, pada awalnya diduga ditolak oleh beberapa Hakim Agung baik dalam forum-forum kecil maupun besar. Pada pertengahan tahun 2023, beberapa Hakim Agung yang menolak diduga dipanggil untuk menghadap Wakil Ketua Mahkamah Agung RI, Sunarto. Kemudian, para Hakim Agung diminta untuk membuat surat pernyataan yang diketahui oleh Ketua Kamar masing-masing dan ditandatangani di atas materai, yang pada intinya menyatakan setuju untuk dilakukan pemotongan dana HPP sebesar 40%, dengan rincian 29% untuk "tim pendukung teknis yudisial", sisanya untuk supervisor dan tim pendukung administrasi yudisial.
Indikasi adanya intervensi dari oknum pimpinan Mahkamah Agung RI terlihat dari format dan isi surat pernyataan yang seragam, serta dikoordinasikan oleh pimpinan dan/atau tidak berdasarkan kehendak secara sukarela oleh Para Hakim Agung. Hal ini mengindikasikan adanya pemaksaan yang terorganisir. Jika tidak ada pemaksaan, sebagaimana yang disampaikan juru bicara Mahkamah Agung RI, Suharto, maka secara logis tidak diperlukan adanya surat pernyataan, karena dana HPP merupakan hak Hakim Agung, dan merekalah yang seharusnya menentukan jumlah yang akan diberikan kepada unit pendukung.
Dalam rangka pemberian dana HPP kepada unit pendukung, Pimpinan Mahkamah Agung seharusnya memperjuangkan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah terkait, seperti yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2023, jumlah perkara yang diputuskan adalah 27.365 perkara, sementara pada Laporan Tahunan MA 2022 terdapat 28.024 perkara. Jika diasumsikan pemotongan sebesar 25,95% per perkara kasasi biasa (3 Majelis Hakim) x Rp6.750.000 x jumlah perkara yang diputuskan setahun, maka pada tahun 2023 terdapat pemotongan dana HPP senilai Rp. 47,933 miliar, dan pada tahun 2022 sebesar Rp. 49,087 miliar.
Kepaniteraan MA dipimpin oleh seorang Panitera yang dibantu oleh tujuh Panitera Muda serta memiliki 12 Panitera Muda Tim (Askor) dan Panitera Pengganti, yang merupakan bagian dari unit pendukung dengan jumlah lebih dari 100 orang. Dari hasil pemotongan dana HPP, mereka hanya menerima Rp. 500 ribu per perkara. Hal ini menunjukkan bahwa alasan pemotongan HPP untuk dibagikan kepada unit pendukung adalah tidak benar. Diduga sebagian besar dana pemotongan HPP diterima oleh oknum pimpinan MA dan Panitera MA RI.
Menurut Petrus Selestinus, Koordinator TPDI, pidana korupsi HPP ini mirip dengan kasus korupsi pemotongan dana insentif pajak untuk pegawai Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang mengakibatkan Kepala Dinas BPPD, Aris Suryono, dituntut hukuman penjara 7
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait