JAKARTA, iNewsTangsel.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa pengusaha Djoko Tjandra terkait pertemuannya dengan buron kasus suap, Harun Masiku, di Malaysia. KPK menduga Djoko memberikan sejumlah uang kepada Harun.
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa timnya telah melakukan profiling terhadap Harun Masiku. Berdasarkan hasil analisis tersebut, Harun dinilai tidak memiliki kemampuan finansial untuk melakukan suap.
“Dari hasil profiling, Harun Masiku secara ekonomi tidak cukup mampu untuk melakukan suap,” ujar Asep di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (11/4/2025).
Asep juga menyebutkan bahwa pertemuan antara Harun dan Djoko di Kuala Lumpur terjadi sebelum kasus suap terhadap Komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan. Diduga, uang yang diberikan Djoko digunakan Harun untuk menyuap Wahyu.
“Dugaan kami, ada pertemuan di Kuala Lumpur antara Djoko Tjandra dan Harun Masiku beberapa saat sebelum peristiwa suap terjadi. Kami menduga terjadi perpindahan uang yang akan digunakan untuk suap,” jelas Asep.
Sebagai latar belakang, kasus Harun Masiku mencuat setelah operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Januari 2020. Wahyu Setiawan, Agustiani Tio (orang kepercayaan Wahyu), Saeful (pihak swasta), dan Harun (caleg PDIP dalam Pileg 2019) ditetapkan sebagai tersangka.
Wahyu divonis bersalah karena menerima suap sekitar Rp 600 juta agar membantu Harun menjadi anggota DPR melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW). Wahyu, Agustiani, dan Saeful kini telah bebas dari penjara, sementara Harun masih buron.
Menjelang akhir 2024, KPK menetapkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan pengacara Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka baru dalam kasus ini.
Pada Rabu (9/4/2025), Djoko Tjandra diperiksa sebagai saksi untuk Harun dan Donny. Usai pemeriksaan, Djoko membantah mengenal keduanya.
"Tidak, saya tidak kenal Harun Masiku. Sama sekali tidak. Juga tidak kenal Donny Tri," ujar Djoko.
Sebagai informasi, Djoko Tjandra merupakan mantan narapidana dalam beberapa kasus, termasuk kasus cessie Bank Bali (2 tahun penjara), kasus surat jalan palsu (2,5 tahun), dan kasus suap red notice serta fatwa MA (4,5 tahun).
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait