Antonius mengakui, keberhasilan restitusi masih minim. Artinya, restitusi yang dibayarkan kepada korban masih minim dalam segi jumlah, meski secara umum, restitusi pada TPPO menempati posisi paling tinggi di LPSK dibandingkan restitusi untuk kejahatan seksual ataupun restitusi pada kasus penganiayaan.
“Kita mengapresiasi kerja sama antara LPSK dengan Kejari Tangsel dan lapas setempat karena sejak awal persidangan sudah memiliki perhatian khusus terhadap restitusi yang diajukan korban,” ujar Antonius.
Masih kata Antonius, khusus perkara di Kejari Tangsel yang saksi dan korbannya menjadi Terlindung LPSK, sejauh ini ada dua kasus TPPO, yaitu pada kasus dengan korban D—yang restitusinya dibayarkan, dan kasus Kafe Venesia dengan empat 4 orang korban. Hanya saja, pada kasus Kafe Venesia tidak ada restitusinya.
“Bahkan, dalam putusannya, pada kasus Kafe Venesia disebutkan bukanlah kasus TPPO, melainkan kasus mempekerjakan anak. Untuk kasus dengan korban D, restitusi yang dibayarkan sejumlah Rp9.275.000,” ungkap dia.
Selain memaksimalkan hukuman pengganti atas restitusi, kata Antonius, upaya lain dalam memaksimalkan pembayaran restitusi, bisa dilakukan dengan penyitaan terhadap asset milik pelaku oleh aparat penegak hukum, atau selain pelaku, restitusi juga bisa dibebankan kepada pihak ketiga yang terkait dengan tindak pidana tersebut.
Pada kasus TPPO dengan korban D yang ditangani Kejari Tangsel ini, korban ditawari pekerjaan sebagai terapis di panti pijat. Setelah bekerja beberapa hari, selain sebagai terapis, korban baru mengetahui dia harus melayani tamu untuk berhubungan badan. Jika menolak melayani tamu berhubungan badan, korban dikenakan denda Rp75.000 per tamu oleh pelaku.
HUMAS LPSK
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait