WACANA pembubaran Bawaslu daerah pasca Pemilu 2024 menimbulkan keprihatinan serius. Di tengah narasi efisiensi dan penyederhanaan kelembagaan, muncul gagasan agar fungsi pengawasan pemilu dipusatkan di tingkat nasional.
Namun, langkah ini berisiko mereduksi efektivitas pengawasan, memperlemah demokrasi elektoral, dan menjauhkan rakyat dari sistem yang seharusnya inklusif dan partisipatif. Jika pengawasan hanya dilakukan dari pusat, maka akan terjadi jarak antara pengawas dan realitas sosial di daerah.
Ini mengabaikan keragaman geografis dan politik lokal, serta melemahkan partisipasi masyarakat dalam menjaga integritas pemilu.
Demokrasi yang sehat menuntut pengawasan yang dekat dengan warga, tanggap terhadap pelanggaran di lapangan, dan menjunjung nilai keadilan elektoral secara merata. Dari sisi konstitusional, Pasal 22E UUD NRI 1945 menegaskan prinsip pemilu yang jujur dan adil.
Bawaslu sebagai lembaga pengawas independen lahir untuk menjamin prinsip tersebut. Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 menegaskan bahwa pengawasan pemilu merupakan bagian integral dari sistem konstitusional.
Karena itu, keberadaan Bawaslu daerah bukan sekadar pelengkap, melainkan elemen esensial dari penyelenggaraan pemilu.
Pembubaran Bawaslu daerah berisiko melemahkan sistem check and balances, mengurangi efektivitas kontrol terhadap pelanggaran di tingkat lokal, dan mencederai prinsip keadilan pemilu.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait