JAKARTA, iNewsTangsel.id - Dampak krisis iklim dirasakan semakin menguat seiring meningkatnya intensitas cuaca ekstrem dan bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kebakaran hutan hingga abrasi pantai. Sejumlah wilayah pesisir dan sentra ekonomi rakyat mulai menunjukkan kondisi memprihatinkan akibat perubahan iklim yang terus bereskalasi.
Daerah Muara Gembong di Kabupaten Bekasi, misalnya, yang dahulu dikenal sebagai kawasan pesisir subur, kini tergerus abrasi hingga beberapa desa terancam tenggelam. Sementara di Semarang, Jawa Tengah, banjir rob yang terjadi berulang mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi pelaku usaha lokal.
Fenomena serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia. Gelombang panas ekstrem (heat wave) dilaporkan melanda Asia, Eropa, dan Amerika dengan jumlah korban jiwa yang meningkat setiap tahun. Di Italia, sekitar 19 ribu orang meninggal akibat suhu ekstrem pada pertengahan musim panas 2024. Secara global, lebih dari 500 ribu orang tercatat meninggal setiap tahun akibat dampak gelombang panas ini. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bahkan menyebut dunia telah memasuki era “global boiling” atau pemanasan melampaui batas toleransi ekosistem.
Dalam konteks penanganan perubahan iklim, sejumlah kebijakan mitigasi dinilai belum sepenuhnya berkeadilan. Banyak upaya pengurangan emisi dan penyesuaian standar ramah lingkungan justru berpotensi menambah beban biaya pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang daya tahannya terbatas.
Terkait perubahan iklim tersebut, Islamic Relief Indonesia bekerja sama dengan UNOCHA menyelenggarakan Dialog Talanoa membahas dampak peningkatan krisis iklim dan transisi menuju ekonomi hijau terhadap kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait
