2. Mandiri dalam Keterbatasan
Di bawah tekanan embargo dan blokade sejak 2015, Yaman tidak hanya bertahan, tapi mengembangkan industri militer lokal:
Drone bersenjata seperti Qasef-2K dan Sammad-3, mampu menempuh ratusan kilometer dan menyerang dengan presisi.
Rudal balistik Badr-F dan Zulfiqar, yang diluncurkan ke target strategis seperti Aramco dan pangkalan militer Saudi.
Teknologi yang digunakan bukan tiruan murahan, tetapi hasil modifikasi cerdas dari sistem-sistem Iran, Rusia, dan Tiongkok yang dibongkar ulang secara lokal.
Menariknya, para insinyur dan teknisi mereka bukan lulusan MIT, tapi anak-anak muda lokal yang lahir dari medan perang, belajar dari pengalaman dan ideologi.
3. Informasi adalah Senjata
Ansarullah tidak hanya kuat di medan perang, mereka juga sangat efektif dalam kerja intelijen:
Mampu membongkar jaringan spionase Saudi dan UEA di dalam negeri.
Menangkap dan mempublikasikan agen ganda, termasuk yang terhubung ke AS dan Israel.
Menyusup ke sistem komunikasi militer lawan dan menggagalkan operasi sebelum dilaksanakan.
Mereka memahami bahwa dalam perang modern, informasi lebih menentukan daripada peluru. Dan mereka menguasai medan itu dengan disiplin, kerahasiaan, dan kesetiaan penuh.
4. Yaman Tidak Sendirian
Meskipun sering digambarkan “sendirian”, Yaman sesungguhnya adalah bagian dari Poros Perlawanan (Axis of Resistance):
Terhubung secara spiritual, ideologis, dan logistik dengan Iran.
Mendapatkan dukungan moral dan taktis dari Hizbullah Lebanon.
Terhubung dengan jaringan perlawanan di Irak, Suriah, dan bahkan kelompok pembela Palestina.
Namun uniknya, Yaman tetap menjaga karakter khasnya sendiri. Mereka tidak menjadi satelit siapa pun, bahkan tidak “disetir” Teheran. Hubungan mereka adalah aliansi yang setara dan saling menghormati dalam semangat anti-zalim.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait