“Semua pihak harus diperiksa. Dokumen disita, dana dilacak, komunikasi diperiksa. Kejaksaan sekarang punya kewenangan menyadap, jadi tidak ada alasan untuk tidak mengungkap semuanya,” tegasnya.
Ia menilai ada dua hal penting yang harus dicapai dari penanganan kasus ini: penyitaan uang pengganti dari pelaksana proyek dan perbaikan sistem keamanan data nasional.
Boyamin menyinggung lemahnya sistem pertahanan siber yang menyebabkan terjadinya peretasan PDNS 2 Surabaya oleh kelompok Brain Cipher Ransomware pada Juni 2024. Peristiwa itu menyebabkan lumpuhnya layanan di 239 instansi pemerintah, termasuk 30 kementerian/lembaga, 15 provinsi, 148 kabupaten, dan 48 kota.
Saat itu, peretas menuntut tebusan sebesar 8 juta dolar AS (sekitar Rp131 miliar). Berbeda dengan PDNS 1 di Tangerang yang dikelola Lintasarta dan tidak terdampak, PDNS 2 berada di bawah pengelolaan Telkom Sigma.
Praktisi keamanan siber Alfons Tanujaya turut mengkritik Kominfo atas pemilihan vendor pengelola data yang dinilai kurang cermat. Ia menegaskan bahwa Telkom Sigma harus bertanggung jawab atas kebocoran data yang terjadi.
Boyamin pun menduga ada kemungkinan dana perlindungan data telah dicairkan, namun tidak digunakan sesuai peruntukan. “Kalau sistem keamanan dibangun dengan benar, seharusnya bisa mencegah serangan. Kalau sampai jebol, patut dicurigai ada kelalaian atau bahkan kesengajaan,” tutupnya.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait