Menurutnya, Pasal 12b UU Nomor 20 Tahun 2001 yang diterapkan Hakim Kasasi dalam kasus Mardani Maming seharusnya tidak hanya dipahami secara normatif tetapi juga mempertimbangkan pendekatan wessensschau. Pasal ini bertujuan mencegah penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sebelum menerapkan UU Tipikor Tahun 1999/2001.
“Pola pemikiran sistematis, historis, dan teleologis dalam putusan Kasasi perkara Nomor 3741/2023 atas nama Mardani Maming tidak dijalankan. Putusan ini memenuhi alasan adanya novum serta kekhilafan atau kekeliruan nyata dari hakim,” ungkapnya, Jumat (1/11/2024).
Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Prof. Yos Johan Utama, turut menyebut putusan dalam perkara ini sarat dengan kekeliruan. Berdasarkan kajiannya, ia mengkritisi pasal yang dikenakan kepada Mardani. Menurutnya, hakim keliru menerapkan pasal yang sejatinya ditujukan kepada pemegang IUP, bukan pejabat yang menerbitkan izin tersebut.
“Fakta yuridis menunjukkan bahwa Mardani H. Maming sebagai Bupati memiliki kewenangan atributif dalam menerbitkan IUP sesuai Pasal 37 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara,” jelasnya. Prof. Yos berpendapat bahwa putusan ini perlu ditinjau ulang, karena Mardani sebagai penerbit izin seharusnya tidak dapat dijerat pidana berdasarkan UU tersebut.
Sementara itu, aktivis HAM Todung Mulya Lubis menyoroti adanya “miscarriage of justice” dalam kasus Mardani H Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Menurut Todung, penjatuhan hukuman terhadap Mardani dipaksakan karena bukti yang ada tidak cukup. “Salah satu bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah tidak terpenuhinya hak atas fair trial. Hakim memilih hanya sebagian bukti yang mendukung dakwaan dan mengabaikan bukti lain yang membantahnya,” kata Todung.
Editor : Hasiholan Siahaan