JAKARTA, iNewsTangsel.id - Pemerintah berupaya menjaga pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) agar tetap fokus pada peningkatan gizi anak sekolah di tengah derasnya perdebatan politik yang mengiringinya. Program ini menjadi salah satu agenda besar nasional dengan alokasi anggaran Rp171 triliun dalam APBN 2025 dan target 82,9 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia.
Hingga 29 Oktober 2025, pemerintah mencatat 13.514 Satuan Pelaksana Pemberian Gizi (SPPG) telah beroperasi dari total rencana 30.000 SPPG. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, muncul sejumlah kasus keracunan makanan di beberapa daerah yang memicu seruan peninjauan sementara dari masyarakat sipil.
Menanggapi hal itu, pemerintah segera mengambil langkah korektif dengan mengetatkan standar penyediaan pangan, menutup dapur yang tidak layak, dan melarang penggunaan bahan pangan olahan. Langkah ini menunjukkan skala besar program MBG sekaligus tantangan pengelolaan yang memerlukan tata kelola yang kuat dan transparan.
Sekretaris Jenderal Indonesian Food Security Reform (IFSR), Isyraf Madjid, menilai program MBG seharusnya dijauhkan dari kepentingan politik jangka pendek. “Memberi makan bergizi kepada anak seharusnya menjadi komitmen kemanusiaan, bukan alat politik. Pemerintah perlu memperkuat aspek tata kelola dan komunikasi publik agar program ini dinilai dari manfaatnya, bukan dari siapa yang menjalankannya,” ujar Isyraf di Jakarta, Rabu (12/11/2025).
Isyraf menambahkan, karena MBG ditetapkan sebagai program prioritas nasional, keberhasilan maupun kegagalannya kerap ditarik menjadi ukuran politik. “Narasi yang terlalu defensif membuat publik sulit menilai apa yang sebenarnya telah diperbaiki. Padahal transparansi data dan laporan audit jauh lebih efektif dalam membangun kepercayaan,” katanya.
Belajar dari praktik global, sejumlah negara seperti Amerika Serikat menunjukkan bahwa konsistensi tata kelola dan legitimasi lokal dapat menenangkan ketegangan politik. Di sana, program makan sekolah disesuaikan dengan kapasitas daerah, namun tetap berada di bawah standar nasional yang ketat.
Pemerintah Indonesia berencana menerapkan sistem serupa. Ekspansi MBG akan dilakukan bertahap berdasarkan kesiapan daerah, dengan persyaratan mencakup sertifikasi dapur, audit rantai pasok, dan kesiapan rantai dingin. Setiap kabupaten dan kota nantinya akan memiliki dasbor publik berisi hasil uji keamanan pangan, daftar pemasok terverifikasi, log insiden, serta tindakan korektif yang telah dilakukan.
Pengawasan juga akan diperkuat melalui kolaborasi antara Badan Gizi Nasional, auditor independen dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, serta komite orang tua siswa. Pendekatan rotasi pengawasan lintas provinsi dinilai dapat mengurangi risiko konflik kepentingan di daerah.
“Transparansi dan audit publik akan menjadi kunci agar masyarakat yakin program ini dijalankan dengan benar,” kata Isyraf menegaskan.
Pemerintah menargetkan keberhasilan MBG tidak hanya diukur dari jumlah porsi yang dibagikan, tetapi juga dari hasil nyata seperti penurunan anemia, peningkatan kehadiran sekolah, dan capaian belajar anak.
Dalam kunjungan ke salah satu sekolah penerima manfaat di Surakarta, makanan tersaji bergizi, fasilitas dapur bersih, dan anak-anak tampak fokus belajar. Gambaran seperti ini diharapkan dapat meluas ke seluruh daerah.
Pengamat kebijakan publik menilai, jika dijalankan dengan konsisten dan bebas dari tarik-menarik kepentingan politik, MBG berpotensi menjadi program sosial berkelanjutan seperti halnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Yang akan diingat masyarakat bukan perdebatan politiknya, tetapi bagaimana negara hadir memberi makan bergizi kepada generasi penerusnya,” ujar Isyraf.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait
