Ia menambahkan, pola asuh ikut memengaruhi tingginya konsumsi. Di Tanjung Mas, banyak balita diasuh oleh nenek sehingga memilih kental manis karena dianggap praktis. Sementara di Sukorejo, meski diasuh orang tua, tingkat pemahaman tentang kandungan gula belum merata.
Sementara itu di Kulon Progo, penelitian tim UNISA yang dipimpin Luluk Rosida, S.St., M.K.M. menunjukkan kuatnya aspek budaya. Kental manis masih menjadi pilihan saat menjenguk orang sakit hingga dijadikan campuran minuman di warung. Kebiasaan ini secara tidak langsung memperkenalkan kental manis kepada balita sebagai “susu”.
“Tradisi membawa susu ketika menjenguk balita sakit sering kali merujuk pada kental manis. Ini yang membuat balita mengenal kental manis sebagai susu sejak awal,” jelas Luluk.
Hasil penelitian yang kemudian dibukukan ini diharapkan dapat menjadi bahan edukasi masyarakat sekaligus referensi bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang lebih tepat untuk menekan mispersepsi mengenai kental manis dan melindungi kesehatan anak.
Editor : Hasiholan Siahaan
Artikel Terkait
